- 03

15.2K 1.3K 90
                                    

Tak kenal maka tak paham. Tak paham tak kan tumbuh sayang. Rumus sayang cewek cuman dua, kenali lalu pahami.
-Salwa-


Selimut tebal berwarna putih aku tarik sebanyak-banyaknya untuk menutupi seluruh tubuh --termasuk kepala-- dan membiarkan wajah tetap terlihat. Bodo amat jika lelaki yang masih tertidur pulas itu akan kehilangan selimut, lalu tubuhnya tereskpos --oh shit!

Aku benci membahas ini. Karena dia, dengan kejamnya merenggut kehormatanku dengan paksa. Aku menangis, tidak dipedulikan.

Argh! Aku ingin membunuhnya. Persetan dengan status jamur* nantinya.

"Sudah bangun, Salwa?" Tampak santai lelaki ini menyapa dengan suara serak khas bangun tidur disertai senyuman biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sialan! Kamu memperkosaku! Brengsek! ...." Sementara aku mengeluarkan semua sumpah serapah yang biasanya hanya tertulis dalam novel, dia hanya mengusap belakang rambutnya. Mengusap, dan menggaruk pipi kanan seolah yang dia dengarkan hanyalah sebuah burung yang mencicit.

"Jam berapa sekarang?"

Omelanku terhenti saat dia dengan wajah biasa saja bertanya pasal waktu.

"Enam lewat."

"Saya harus ke kantor!"

Dia langsung menyibak selimut menyebabkan aku, mau tidak mau harus menutup mata dengan wajah berpaling ke sisi lain.

Tidak acuh.

Bahuku luruh bersamaan dengan suara pintu kamar mandi yang dibanting. Dia bahkan tidak ingin repot menanyakan kabarku.

Sakit. Bukan hanya di seluruh tubuh akibat terus memberontak semalam, tetapi juga di hati.

Suami yang seharusnya memberikan rasa nyaman bagi istrinya, malah mengabaikanku begitu saja. Aku ini, istri sahnya! Dan rasa kepemilikan yang menyebabkan aku merasa ini tidak adil.

Pundak bergetar karena tangis yang mendadak muncul. Sisa-sisa kekuatan aku kumpulkan, lalu mengenakan pakaian yang berceceran di lantai.

Dengan langkah lunglai akibat nyeri di selangkangan, dan mata yang masih meneteskan air mata, aku hendak ka dapur. Kemudian memasuki sebuah tempat di mana aku merasa sendiri. Tidak perlu ada lagi yang mengganggu, atau melihat pemandangan yang menyakitkan.

Aku terduduk, bersandar pada tembok dingin sambil memeluk lutut. Kemudian menangis tanpa suara.

Dulu sekali, aku selalu memimpikan sebuah pernikahan yang indah, di mana suami yang akan selalu menjadi obat bagi luka istrinya. Namun, yang terasa sekarang malah suamiku sendiriyang mrnjadi racun menyakitkan.

Tanpa perasaan, dia menunaikan haknya. Tanpa peduli apa yang aku rasa, apa yang aku mau, dan apa yang menyakitiku.

Tuhan, sebenarnya apa rencanamu?

Entah berapa lama aku menangis, lalu terdengar suara di luar sana.

"Selamat pagi, Sayang ...."

Lalu, nyeri kembali menghantam tepat di palung hati. Seharusnya ... hanya kalimat itu yang kuucapkan, dan kudengarkan setiap harinya.

Namun, kenyataan berbanding terbalik. Aku malah mendengar kalimat itu dari sepasang suami-istri yang menjadi penyebab semua rasa sakit ini bermula.

Aku menyembunyikan wajah di antara lutut dan perut sambil menggigut bibir bawah dengan kuat untuk meredam isakan. Meski, hal tersebut menimbulkan rasa sakit lain karena bekas gigitan Revan masih terasa.

Lelah menangis, aku menilik ke arah pintu cokelat yang tertutup rapat. Biasanya, mama akan datang membawakan secangkir cokelat hangat saat tahu aku menangis. Namun, sekarang ... tidak ada lagi cokelat hangat atau ucapan menghibur agar tangisku reda. Semuanya harus dilakukan sendiri. Aku harus mandiri, termasuk menghapus air mata ini.

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now