- 07

12.7K 1K 59
                                    

Dia menyebalkan, sementara aku aneh.
Aneh karena merasa kurang tanpa dia.
~ Salwa ~

"Salwa, kamu sudah siap-siap?"

Itu panggilan Revan yang ke sekian kalinya dari luar kamar. Seharusnya, dalam satu jam-an ini, sudah mencapai 1000 kata yang kutulis, tetapi karena gangguan lelaki itu, kurang dari 400-an kata yang tercetak di layar monitor.

"Bentar!" pekikku, lagi.

"Salwa, kita nanti terlambat!"

"Bomat!"

Memang itu yang aku inginkan. Terlambat naik pesawat, dan tidak jadi bulan madu. Sungguh, membayangkan tinggal satu kamar bersama Revan selama satu bulan membuatku bergidik. Dia orangnya tukang memaksa. Kalau mau, ya harus ada. Berhubung tidak ada Adelia, bisa dipastikan aku yang harus menjadi pemuasnya selama di sana. Dan aku tidak suka itu.

Awal pernikahan, memang aku berencana untuk mendapatkan hati Revan. Namun, melihat sifatnya yang terlalu pemaksa, aku ingin mundur. Bukan secara perlahan, tetapi ingin berlari menjauhinya.

"Salwa, Mama kamu nelpon!" teriak Revan, setelah hening selama kurang dari 5 menit.

Bola mataku berputar malas. Dia pasti berbohong agar aku membukakan pintu. "Bilangin aja, aku lagi nggak enak badan!"

"Salwa!"

Sekarang ini, keinginanku hanya satu. Tuli. Aku muak mendengar semua panggilannya. Aku muak dengan keadaan di mana aku tidak bisa berkutik seperti sekarang ini.

Aku benci ....

Tubuhku bahkan sulit untuk diajak bergerak walau hanya mendekati pintu yang jaraknya kurang dari 2 meter itu. Membukanya, memperlihatkan sosok Revan yang berdiri dengan wajah penuh amarah. Tubuhnya yang dibalut dengan kaus hitam polos dan celana training hitam biasa membuatnya terkesan santai, berbanding terbalik dengan ekspresinya.

"Gini aja." Aku memulai pembicaraan memalaskan ini. "Bagaimana kalau kamu aja sama Adelia yang ke sana? Aku lagi mager berat. Tugas dari editor juga numpuk. Selama kalian bulan madu, aku nggak bakalan keluar rumah. Jadi, kalian tenang aja."

Revan tidak langsung berbicara. Rahangnya masih mengetat tegas, sementara aku tetap tidak peduli.

"Ide bagus!" Dia lalu berputar ke arah kamarnya tanpa mengatakan apa-apa lagi!

Huh! Bahkan dia tidak berterima kasih sedikitpun padaku. Sama seperti Revan, aku kembali ke kamar sambil membanting pintu dengan keras.

Naskah kesayanganku masih harus dijamah. Bahkan, aku lebih suka bersama laptop dibanding Revan.

Dering ponsel menghentikan kegiatanku yang sudah menulis 1200 kata. Nama 'Mama' terpampang jelas di layar smartphone berponi tersebut. Tanpa berpikir panjang, icon hijau segera digeser sebelum menempatkan benda pintar itu di telinga.

"Halo--"

"Aduh, Sayang. Kamu di mana, sih? Kenapa mesti pulang balik? Ini pesawatnya udah mau berangkat. Kamu cepetan balik ke bandara, ya? Mama sama Revan nunggu di sini," ucap Mama dengan cepat.

What the ...?

Astaga!

"Oke."

"Cepetan! Mama nggak suka nunggu lama! Mama juga udah pesenin taksi online terpercaya. Kamu cepat ke sini!"

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now