- 09

16.1K 1.2K 136
                                    

Napasku sesak, memaksa untuk tersadar dari alam mimpi. Terasa di dadaku ada yang menekan. Keadaan gelap, membuatku sulit untuk mengidentifikasi benda apa itu. Sekilas saat aku sentuh, terasa keras tapi ada sisi yang lembut. Panjang, dan ... berbulu.

Shit. Aku memikirkan sesuatu.

Ponsel aku raba di atas meja, menyalakannya sehingga cahaya di layar bisa memberikan penerangan.

Benar dugaanku. Ini kaki Revan. Selimut aku singkap. Tampaklah wajahnya berdampingan di kakiku.

Dasar manusia aneh! Aku memaksa memindahkan kaki Revan ke bagian kasur yang kosong. Lalu kembali berbaring untuk melanjutkan tidur. Tak lupa, selimut ditarik hingga sebatas leher.

Saatnya tidu--shit. Kakinya dengan santai berada di atas lenganku, sementara jempolnya menyentuh hidungku. Bau! Argh!

Terlalu pagi untuk marah-marah sebenarnya. Namun, aku tidak bisa mentolerir sikap Revan ini. Secara paksa, kakinya aku banting ke kasur. Namun, tetap terulang. Bahkan, kini kakinya menghantam tulang pipiku.
Oh Tuhan!

"Bangun, Revan! Bangun!" Aku melepas bantal yang pengganjal kepala hanya demi menggunakannya untuk memukul Revan. Dia sama sekali bergeming, dan malah menekan tubuhku dengan kakinya.

Manusia sialan.

"BANGUN!" teriakku. Selimut ditarik Revan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sialan, kakinya masih sangat menyebalkan.

Okey. Tarik napas, lalu embuskan dengan pelan. Marah pagi-pagi bisa menimbulkan banyak kerutan dini.
Kaki Revan aku biarkan di perutku. Jika sebelumnya kesal, kini aku tersenyum saat mengusapnya hingga lutut. Turun lagi ke betis, dan menarik kasar beberapa rambut pendek di sana.

"SALWA!"

Bersama dengan pekikan Revan barusan, kakinya menendang kuat hidungku hingga terasa begitu perih. Kami sama-sama meringis.

Revan bangun, juga aku. Kami sama-sama mengusap bagian yang sakit. Aku tidak terima, langsung memukul kakinya itu.

"Kaki kamu itu sama nyebelinnya kayak kamu. Ajarin sana biar nggak ganggu orang lagi tidur. Mana nendang hidung lagi! Sakit tau!" pekikku.

"Siapa suruh tarik bulu kaki. Lebih sakit itu, Salwa!"

"Halah! Makanya, cukuran sana! Jadi cowok kok jorok banget."

"Kaki laki-laki memang begini. Kalau mulus, ya itu kaki perempuan!" Dia mengelak. "Lagian, lebih kurang ajar lagi kaki kamu. Sembarangan saja tindis aset orang. Ajarkan sopan santun sana!"

Aku semakin kesal saat dia berusaha melimpahkan kesalahan padaku.

"Yang nyuruh kamu tidur kayak gitu siapa coba?"

"Kan kamu yang tidak mau tidur sama saya. Saya tidak mau di sofa. Sempit."

"Tapi tetep aja, Revan, ini satu ranjang!" Aku kepalang gemas dengan manusia satu ini.

"Karena kamu tidak suka saya, dan saya malas berdampingan sekaligus mengalah sama kamu, ya makanya saya begini."

"Alasan! Pindah sana. Ganggu banget sih pagi-pagi."

"Kamu saja."

Revan menarik selimut dan berbaring dengan nyamannya.

"Kamu yang pindah. Kamu kan cowok. Masa lembek banget sih?"

"Kan kamu istri saya, seharusnya kamu yang mengalah."

"Revan ...."

"Sayang ...."

Aku memukul Revan dengan bantal karena panggilannya itu. Membuat dada menghangat sementara di sisi lain aku tahu, ada sayangnya yang lain tengah menunggu di rumah.

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now