Senja

361 24 13
                                    

.

.

.

“Saat senja kita bertemu, saat senja pula kita berpisah.”

.

.

.

 

 

“Hai, aku Jiwon,  Kim Jiwon. siapa nama mu?”

 

“June. Nama ku, Goo Junhoe.”

 

-;;-

 

Tepat pada pukul 7 malam. Langit sangat indah di hiasi sinar jingga yang membentang seluruh permukaan langit. Pemandangan di senja hari, mengingatkan ku pada sebuah ironi yang manis dan berakhir dengan pahitnya.


Perkenalan kami di awali dengan pertukaran nama. Tangannya yang kecil menggenggam tanganku dan dia mengayunnya dengan pelan. Matanya yang sipit bak bulan sabit. Dia cantik. Tidak. Dia sangat cantik.


Saat itu umur kami baru 8 tahun. Perkenalan yang singkat itu, membuatku merasa sangat nyaman. Apa yang bisa di rasakan anak umur 8 tahun? Apakah cinta monyet? Mungkin. Tapi tidak. Cinta itu terus berlanjut hingga saat ini.


Kami selalu menghabiskan waktu bersama sepanjang hari. Tempat pertemuan kami, adalah tempat paling istimewa di dunia. Sebuah lapangan yang tidak besar di pinggir kota, di kelilingi ilalang tinggi yang dimana saat kami melewatinya kami bagaikan tenggelam di dataran ilalang. Saat senja tiba, kami akan berbaring bersama sambil menyaksikan turunnya matahari dari ufuk barat. Warna jingga yang sangat indah, berpadu dengan warna-warna lainnya membuatku sangat menyukai sang senja.

Di mataku sang senja lah yang selalu paling indah. Sang pagi dan malam tak ada artinya. Karena sang senja-lah yang selalu menyatukan kami, kita berdua.


Seiring waktu berlalu, kami mulai terpisah oleh dinding penghalang yang di sebut waktu. Dia terus menerus memutar dan membuat hari semakin cepat berlalu. Sang senja yang indah pun, kini hanya sebuah senja biasa.


Sesekali kami bertemu, membahas hal-hal yang sangat kami rindukan. Dengan dua cincin yang aku pegang, kupikir aku akan menyatakannya. Namun, ku urungkan. Mungkin lain kali saat waktunya sudah tepat.


Bertahun-tahun sudah kami lewati, dinding itu semakin besar dan sangat lebar. Ilalang yang panjang itu kini telah menjadi kenangan. Mereka semua tertebas. Dan secara tak sadar, kenangan yang kami lalui tertebas pula.


-;;-


“Jiwonie, aku ingin bertemu denganmu. Aku kangen!” pesan singkat yang membuat mataku terbelalak. Sangat manis. Dia rindu padaku. Dan kesempatan yang aku inginkan telah tiba. Aku segera bergegas menemuinya. Tidak ada waktu lagi untuk menunda, aku harus menyatakannya!

Dia berdiri di barengi dengan cahaya senja dari ufuk barat. Sang senja yang terlupakan, kini kembali menempati posisinya.


“Mianhae, apakah kau lama menunggu?” Aku terengah-engah kehabisan nafas.


“Anni, aku baru saja sampai. Ya! Aku rindu padamu!” dia menepuk pundakku dengan pelan.


June membuka tasnya dan mengambil amplop dengan motif yang sangat unik. Untuk apa amplop itu? Dia menyodorkan amplop dengan motif kupu-kupu itu padaku. “Datang ya!”


“Acara tidak akan di mulai kalau sahabatku tidak datang, jadi luangkan waktumu ya, Jiwonie!” Lanjutnya. Aku membuka amplop itu perlahan. Pantas sangat cantik. Amplop itu berisi undangan pernikahan.

Aku terdiam sebentar, “Aku pasti datang.” Kupasang senyum palsu.

Ku lihat kedua cincin yang ku genggam. Air mata ku menetes tak sanggup lagi ku bendung. Aku malu pada sang senja. Karena hari ini, aku menjadi seorang pengecut di depannya. Dan mulai hari ini, aku hanya akan menikmati sang senja sendirian. Akankah, senja terakhirku bersamanya, akan selalu menjadi senja yang sangat indah dan tak terlupakan?












FIN.








Aku gabutt 🤣🤣

ONESHOT BOBJUNWhere stories live. Discover now