36. Mama

36.7K 6.5K 639
                                    

“Lo lagi nonton bokep?”

Affan memutar bola matanya. Bersiap menutup laptop, namun tangan Tama sudah terlebih dahulu menahan.

“Siapa tuh?” ia menunjuk dengan mata menyipit. “Anjing, lu bayar orang buat mata-matain bini lo, Fan!” kekeh Tama menepuk-nepuk pundak Affan dengan heboh. “Ya, ya, ya, emang susah sih kalau udah ke-detect jadi budak cinta. Sampai harus rela ngelakuin hal-hal norak kayak gini.”

Affan mendengkus, ia shutdown komputer tipisnya. “Jadi, mau ke mana kita hari ini?”

Tama mengedik, ia duduk di depan Affan dengan pandangan berbinar jenaka. “Jadi …,” ia sengaja memenggal kalimatnya. “Ada apa gerangan sampe lo harus mata-matain bini lo sendiri?”

Ck, nggak ada. Gue cuma mau mastiin dia aman.”

“Iya deh, gue percaya aja,” Tama menyeringai. “Ngomong-ngomong, dia di boncengin siapa tadi?”

Affan mengangkat bahu mencoba tak peduli. Lalu memanggil karyawan hotel untuk meminta kopi lagi. Duduk di lobi sejak dua jam lalu, Affan sudah menghabiskan dua cangkir kopi. Karena selain memantau keadaan kantor, ia juga sedang tidak waras dengan mengirimkan dua orang mata-mata demi membuntuti istrinya.

Well, semua bermula sejak ia menghubungi mertuanya waktu itu. Mengatakan keberatan untuk berpisah dengan sang istri. Affan pikir, Faisal akan mendebatnya. Namun Faisal justru membuat Affan makin bingung. Sebab, bukannya langsung menolak, Faisal malah mengatakan agar sementara waktu Affan tidak usah menghubungi Anin terlebih dahulu.

Affan jelas merasa keberatan. Hendak melayangkan protes, namun pupus begitu mengetahui sang istri tengah berada dalam fase pengobatan.

Jangan hubungi Anin dulu, ya, Fan?”

“Lho kok gitu, Pa?” mana mau Affan diatur-atur begitu. Masa untuk menghubungi istrinya saja dilarang. Kan Affan ingin meminta maaf.

“Saat ini, Anin sedang melakukan sesi konseling,” suara Faisal terdengar lelah. “Kali ini, Anin nggak menolak, Fan.”

Maksudnya, istrinya tidak menolak diajak berobat begitu ‘kan?

Wah, ada apa sebenarnya?

“Anin mau diajak ke psikiater, Pa?” tanya Affan penuh harap. Benar-benar di luar dugaan. Namun, Affan sangat senang dengan progress itu. “Jadi, kondisinya gimana sekarang?”

“Cakra punya teman seorang psikolog. Setelah kita ceritakan kondisi Anin, ternyata psikolog itu punya metode terapi yang tepat. Jadi, nggak lagi bergantung pada obat penenang. Anin sedang dilatih untuk mengalihkan tiap-tiap kenangan buruknya dengan mengganti lewat kenangan baik yang ia miliki sebelum Senja pergi darinya. Juga, setelah dia menikah dengan kamu, Fan.”

Ada kebanggaan sendiri saat Affan mendengar bahwa kebersamaan mereka yang masih singkat itu, telah tertanam sebagai memori yang baik untuk istrinya. “Jadi, kenapa Affan nggak boleh menghubungi Anin, Pa?”

“Anin beranggapan kamu pergi meninggalkannya karena dia nakal.”

“Pa—“

“Diam dulu, Fan!” sergah Faisal tajam. “Untuk sementara, biarkan Anin berpikir begitu. Untuk sementara ini, kami dan juga ahli kejiwaannya, sepakat menjadikan hal itu sebagai alasan kuat kenapa kamu meninggalkannya. Karena, hanya dengan alasan itulah, Anin bersedia bertemu dengan psikolog.”

“Maksudnya, Pa?”

“Fan,” suara Faisal melembut. Tidak sekeras sebelumnya. “Anin beranggapan, dia nakal karena selama ini tidak pernah mau untuk melakukan konseling. Jadi, kamu pun pergi karena nggak sanggup dengan kenakalannya. Dan sekarang, Anin ingin berubah. Dia tidak ingin kamu sebut nakal lagi. Makanya, dia nggak keberatan melakukan konseling dengan psikolog. Berharap segera sembuh dan kamu akan pulang.”

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang