25. Istrinya Salah

37.2K 6.2K 418
                                    

**

“Fan?”

Sayup-sayup, Affan mendengar namanya dipanggil.

“Affan?”

Awalnya, suara itu terdengar jauh. Namun lama kelamaan, seruan tersebut terasa begitu dekat. Lengkap dengan guncangan halus di lengan. Perlahan-lahan, Affan mencoba mengerjapkan netra.

“Fan? Kamu mimpi?”

Ternyata suara itu milik istrinya. Yang tengah menatapnya keheranan dengan lampu temaram yang telah berganti sinar terang. “Nin?” Affan merasa linglung. Ia kerjap lagi matanya demi menetralkan penglihatan. “Aku mimpi?”

Tawa istrinya terdengar pelan. Lalu wanita itu membantunya duduk sambil menumpuk bantalnya di belakang.

“Kamu mimpi apa?”

Affan tak segera menjawab. Ia malah memejamkan mata, sambil memijat pelipis. “Ini jam berapa sih?”

“Hampir jam dua belas.”

Membuka matanya lagi, Affan menelusuri kamar dan menghela. Ternyata cuma mimpi. Tapi kenapa terasa begitu nyata.

“Fan?”

Anin menyenggol lengannya, dan Affan tidak bisa lebih bersyukur lagi dengan keberadaan wanita itu di sisinya saat ini. Sambil memandang sang istri, Affan meringis kecut. “Aku mimpi kamu selingkuh, masa,” desahnya jujur. Kemudian pura-pura mendengkus saat Anin malah menertawainya. “Serem. Kamu ngaku selingkuh sambil nangis-nangis. Di depan mama sama papa lagi. Kan aku shock.”

Mengambil ikat rambut, Anin membuat cepolan tinggi. “Gara-gara tadi aku pulang lumayan malam, ya?” tebaknya sambil menurunkan kaki. “Aku udah bilang ‘kan, kalau pulang ke rumah papa tadi?”

“Iya sih, mungkin aku kepikiran karena di sana kamu pasti ketemu Cakra,” Affan mengikuti istrinya yang kini tengah berdiri. “Kamu mau ke mana?”

“Mau ambil minum yang dingin deh di bawah. Kamu mau aku ambilin?”

“Aku ikut aja,” Affan pun mengekori. “Tapi tadi kamu benaran ketemu sama Cakra ‘kan, di sana?” saat mereka menuruni tangga, Affan meraih lengan Anin da menggandengnya. “Ngomong apa aja dia? Kamu awalnya nggak bilang lho kalau mau makan malam di rumah papa. Kamu cuma bilang mau makan malam di luar,” Affan mengingatkan istrinya tentang isi pesan wanita itu.

“Udah malam, Fan, jangan berisik. Papa sama mama bisa terganggu denger omongan kamu,” Anin mengerling geli. Suasana rumah memang sudah sangat sepi. Dan lampu-lampu utama telah dipadamkan. Mereka berbelok ke dapur dengan tangan Anin yang menyentuh saklar lampu. “Kamu mau minum apa?”

“Kamu nggak jawab lho pertanyaanku, Nin,” dengkus Affan masam. Ia telah melepaskan gandengannya. Membiarkan sang istri yang membuka pintu lemari es, sementara dirinya menarik kursi dan menopang dagu di atas meja makan.

Mengambil satu kotak jus kemasan, Anin membawanya ke meja. “Cakra datang ke toko. Niat awalku, pengin traktir dia makan. Tapi di tengah perjalanan dia bilang lebih baik makan malam di rumah. Jadi, aku ke sana.”

Dengan kening berkerut bingung, pandangan Affan mengikuti punggung istrinya yang beranjak mengambil gelas. “Cakra ke toko?” intonasinya benar-benar mengindikasikan keraguan. “Dan kamu makan malam di rumah papa karena permintaan Cakra?” Affan yakin ada yang keliru. “Dia maksa kamu ‘kan, Nin?”

Anin menggeleng seraya menuang jus ke dalam gelas. “Aku ke sana benar-benar atas kemauanku sendiri, Fan,” ia menyorongkan gelas berisi cairan orange tersebut kehadapan suaminya. Sementara dirinya menuang lagi. “Cakra sama sekali nggak ada maksa aku.”

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang