32. Tolong

32.8K 5.9K 331
                                    

***

“Mama seharusnya nggak repot-repot, Ma,” kata Anin pelan. Berharap ibu mertuanya tidak tersinggung. “Mama kan baru aja sembuh. Seharusnya, kami yang ke sana.”

Rike membuat raut jenaka, kemudian tertawa kecil sambil mengelus lengan menantunya. “Udah seminggu Mama keluar rumah sakit, Nin. Udah lama, ah,” katanya riang. Ia mulai membuka rantang berisi makanan yang ia masak untuk anak dan menantunya. “Kamu baru pulang kerja ‘kan? Mandi dulu aja sana. Mama bisa kok ngerjain ini sendiri.”

Anin meringis bingung. Telapak tangannya menyentuh leher, lalu mengusapnya pelan. Sebuah kebiasaan yang tak sadar ia lakukan bila berdekatan dengan orang asing yang membuatnya resah. Antara ingin meninggalkan atau benar-benar bertahan demi kesopanan. “Mama tadi kenapa nggak telpon? Mama udah nunggu lama?”

Well, saat Anin sampai di rumahnya, ia sudah mendapati ibu mertua berdiri di depan pagar di temani oleh supir. Ngomong-ngomong, Anin dan Affan sudah pindah ke rumah mereka sendiri sejak seminggu lalu. Rumah berlantai dua dengan empat kamar tidur, selesai direnovasi. Sebenarnya belum semua, taman kecil di area samping belum sepenuhnya jadi. Padahal, Affan sudah merencanakan agar spot itu menjadi tempat favoritenya dan Anin menghabiskan akhir pekan mereka, selain di kamar tidur tentu saja.

Cukup dua hari saja bagi mereka untuk menginap di rumah keluarga Anin, Affan segera memboyong istrinya menempati rumah mereka yang telah rampung. Kabar baiknya, semua selesai sesuai rencana. Dan kabar buruknya, rencana berbulan madu hanya berakhir sebagai wacana semata.

“Enggak, ah, itu Mama baru sampai kok. Masih mau pencet bel, eh tahunya kamu pulang.”

Anin masih bekerja seperti biasa. Affan tidak melarangnya, dan Anin memang butuh kegiatan. “Aku yang cuci rantangnya, Ma,” ia menahan tangan sang mertua yang sudah hendak berjalan ke westafel. “Mama udah masak, jadi biar Anin yang nyuci, ya?” hanya inilah yang biasa ia lakukan demi memupus kecanggungan.

“Oke,” Rike pun membiarkannya. Ibu tiga orang anak itu lantas menarik salah satu kursi, duduk di atasnya sambil memerhatikan menantunya lamat-lamat. Pelan-pelan ia mendesah agar tak ketahuan. Fakta mengenai sang menantu yang sengaja disembunyikan oleh putranya, cukup membuatnya terguncang. Namun setelah itu, ia malah merasa sedih.

Penderitaan yang ditanggung dalam diam oleh menantunya selama ini, membuat Rike berkali-kali meneteskan air mata. Setidaknya, setelah dengan jujur sang putra menjelaskan kondisi Anin pada mereka. Lalu merasa bersalah, ketika ia pernah berpikir bahwa Anin sengaja mengabaikan putranya.

“Nin?”

“Iya, Ma.”

Rike tahu ini sudah terlambat. Dan ia juga paham, apa yang coba ia lakukan tidak akan berpengaruh besar pada perkembangan kondisi sang menantu. Namun, ia ingin mencoba lebih dekat dengan wanita yang telah dinikahi oleh anaknya. “Affan bilang, lusa kamu libur, ya? Mama mau minta temenin kamu dong, Nin.”

Anin telah selesai, kini tengah mengeringkan tangan. “Ke mana, Ma?” tanyanya ragu-ragu.

“Ada bazaar amal, tapi kegiatannya di panti asuhan. Mama pengin ajak kamu ke sana. Soalnya Mama nggak ada temen. Dan kebetulan kamu libur ‘kan?”

Anin kontan meringis. Ia tidak pernah suka menghadiri acara-acara seperti itu. Biasanya, ia pasti sudah menolak mentah-mentah. Tapi, please, ini ibu suaminya yang mengajak. “Anin tanya Affan dulu, ya, Ma?” ia sedang mengulur waktu.

Rike menanggapinya dengan senyum lebar. Ia mengangguk senang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur menantunya yang bersih. “Kalian belum dapet asisten rumah tangga? Affan udah coba hubungi ke yayasan yang kemarin pernah Mama kasih tahu belum? Bukan apa-apa, kasian kamu, Nin. Udah capek kerja masih harus masak dan bersih-bersih lagi.”

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang