18. Ini Suamiku

39K 6.9K 820
                                    

Judulnya aye aye bangetss yes hahahaha

Mari kita liat anin lagi halu ato lagi ngigo di bobol yess wkwkwkwk

Happy reading...

***

Mereka melakukannya.

Pada senja yang tak pernah disangka, mereka membuat pengecualian agar tak lupa. Melalui peluh yang berebut berjatuhan, keduanya mencipta ritme malu-malu yang kemudian berderu memburu.

Ya, mereka melakukannya.

Affan telah menjadikan wanita itu miliknya yang utuh.

Sebelum orang-orang kakeknya datang mengacau. Mereka telah berhasil mendayuh lagu dengan satu napas yang memburu.

Ketika ciuman yang ia layangkan dengan penuh kehati-hatian berubah menjadi cumbu yang mengikat nafsu. Menuntun keduanya menyibak sisi lain dari dunia para manusia yang telah menikah. Menjelajah rasa baru, saling memperdengarkan rintih lenguh. Dan Affan menjadi yang pertama. Menenangkan wanita itu dengan debar ribut di dada. Menyeka peluh yang memburu. Hingga kemudian bersatu.

Anin.

Pada satu titik yang tak dapat Affan pahami, ia merasa bahagia.

Pada satu momen yang tak mampu dijelaskan, ia merasa bangga.

Anin.

Hah ...

Affan memukul setir mobil sembari menyentak kepalanya ke belakang. Ia pejamkan mata, sambil mengatur napas. Dan setelah dirasa cukup tenang, ia kembali membuka netranya. Menatap melalui jendela mobilnya yang terbuka demi menunggui istrinya yang sedang membeli obat.

Obat, ya?

Dan Affan ingin sekali tertawa.

Pernikahan mereka masih mampu dihitung dengan jari, namun masalah yang bertubi-tubi menimpa seperti tidak kenal hari. Terus saja memburu mereka yang baru resmi menjadi sepasang sejoli.

"Udah?" tanyanya seketika saat istrinya keluar dari apotek sambil menenteng tas plastik.

"Udah," Anin menunjukkan apa yang ia beli. Tanpa repot-repot menunggu respon, ia berjalan memutari mobil demi mencapai tempat di sebelah Affan yang mengemudi. "Tapi ke toko tempat aku kerja dulu, ya? Aku mau lihat absennya aku mereka buat apa."

Affan hanya mengangguk sambil melajukan kembali mobilnya. Apotek yang dipilih sang istri memang tidak jauh dari toko retail tempat wanita itu bekerja. "Nggak langsung di minum?" Affan melirik bungkusan yang berada di pangkuan istrinya.

"Nanti aja, setelah sarapan," Anin tidak memindahkan bungkusan obatnya. Tetap ia biarkan berada di pangkuan. "Kamu hari ini nggak ke kantor?"

"Setelah ngantar kamu sampai ke rumah, aku lanjut ke kantor," Affan menyalakan lampu sein ketika akan berbelok. "Tapi, nanti malam aku sama Papa dan Mama datang ke rumah kamu. Mau meminta kamu untuk jadi istri aku secara resmi. Sekalian kamu ikut aku pulang 'kan?"

Anin belum menjawab. Ia sibuk membenahi dressnya sebagai sebuah pengalihan belaka. Cukup berterima kasih pada sekretaris Affan yang membelikannya tiga pasang pakaian berikut dengan pakaian dalam sekaligus. Jadi, dirinya tak perlu mengkhawatirkan penampilannya yang tidak pulang ke rumah sejak kemarin. "Aku nggak tahu," gumamnya benar-benar tak memiliki jawaban pasti.

Affan mengerti, jadi ia mengangguk. Ingin sekali rasanya menyentuh tangan Anin, tetapi ia tidak memiliki keberanian kali ini. "Soal kemarin," ia menjeda ucapannya dengan nada bimbang. Matanya membagi perhatian antara jalanan dan juga raut sang istri. "Nggak seharusnya aku membuat pengumuman tentang kamu tanpa diskusi terlebih dahulu."

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang