27. Nama Itu Terucap

32.1K 5.6K 468
                                    

Resepsi pernikahan digelar esok malam. Namun, mereka juga mengadakan akad ulang pada pagi harinya. Bila sebelumnya pernikahan mereka sudah sah secara agama, maka besok Negara pun akan turut melegalkannya. 

Sore tadi, kedua keluarga besar mereka memutuskan untuk menginap langsung di hotel tempat berlangsungnya acara. Karena akad akan dilakukan pada pukul sembilan pagi, tiba-tiba semuanya takut terlambat. Bayangan terjebak macet yang menyebalkan, membuat mereka semua sepakat merogeh kocek demi kelancaran pernikahan.

Awalnya, Affan dan Anin tidak diperbolehkan tidur sekamar. Setidaknya, sampai pernikahan resmi mereka esok. Namun, Anin memilih tidur sendirian daripada harus tidur bersama Hena. Affan mana tega membiarkan istrinya tidur sendiri. Jadi, setelah memastikan tak ada keluarga yang memantau mereka, ia pun menghampiri istrinya.

Ah, mana dirinya peduli.

Kan mereka sudah menjadi sepasang suami istri selama ini. Lagipula, acara esok hanya sekadar ceremony.

“Aku boleh tanya sesuatu?”

Anin mengangguk dan masih memunggungi suaminya.

“Kenapa kamu nggak mau punya anak?”

Pertanyaan itu sebenarnya terdengar sensitive, namun Anin masih tak ingin berbalik demi bertemu pandang dengan laki-laki itu. Ia biarkan jemari Affan menari di punggungnya, membuat pola-pola abstrak di sepanjang punggung polosnya yang tak tertutup selimut. “Aku nggak suka anak kecil,” akunya jujur tanpa emosi sama sekali.

Mendengar tanggapan istrinya yang santai, Affan mencoba mengajukan pertanyaan yang lebih berani. “Kenapa nggak suka?” ia mempersepit jarak. Sebelah lengannya menopang kepala, sementara pergerakan jemarinya mengarah pada lengan istrinya. Membelai bolak-balik dengan sentuhan ringan. “Bahkan kalau semisal kita punya anak nanti?” tanyanya sedikit ragu.

Berbanding terbalik dengan pertanyaan Affan yang meragu, Anin justru menggangguk tanpa beban. “Kita nggak akan punya anak. Aku nggak suka.”

“Nin—“

“Kamu bisa adopsi anak kalau mau,” potong Anin sambil membalikan tubuh. “Atau kalau ngerasa udah muak hidup samaku, aku nggak keberatan kamu menikah lagi.”

Affan diam sebentar, kemudian tertawa kecil. Ia turunkan wajahnya, lalu mengecup hidung mancung wanita itu. “Ajari aku dong, gimana bisa ngomong seenteng kamu gini?” godanya tergelak. “Untuk ukuran perempuan yang baru menikah, kamu terlalu gampang nyerahkan suamimu sama orang lain, ya?”

Anin mencibir, menepis tangan Affan yang kini bergerilya di sekitar lehernya. “Tapi aku beneran nggak suka anak kecil, Fan,” tekan Anin meyakinkan. “Aku nggak mau punya anak.”

Seringai geli Affan telah hilang. Menatap Anin dalam-dalam, ia sedikit takut begitu melihat bahwa wanita itu sungguh-sungguh dengan perkataannya. “Kenapa?” bisiknya gamang.

“Anak kecil selalu identik sama kebahagiaan dan aku nggak suka,” jelasnya dengan lancar.

“Kenapa? Karena dulu kamu ngerasa nggak bahagia?”

Anin mengangguk tanpa beban. “Kalau kita punya anak, sebagai ayah, kamu pasti sayang sama dia ‘kan?” menatap langit-langit kamarnya, Anin menarik napas panjang. “Papa sama Mamamu juga bakal sayang dia. Anak kita bakal diterima dengan mudah. Di doakan keselamatannya dan pasti nerima banyak hadiah.”

Sesuatu yang tidak ia dapatkan pada masa lalu.

Sesuatu yang tak ia rasakan sewaktu itu.

Dan dirinya …

“Aku bisa cemburu sama dia, Fan,” karena itulah Anin tak menyukainya. “Aku nggak bisa ngerasain semua itu. Tapi anakku pasti bakal dapatkan segalanya. Dan aku nggak suka.”

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang