7. Mengalun Ribut

33.7K 6.8K 415
                                    

***

Mereka belum menjadi sepasang, hanya dua orang yang sedang mencoba mengenal tak hanya lewat nama. Mereka belum memiliki rindu, sampai temu menjadi terlalu istimewa tuk diajak bersemoga.

Begitu pun tentang rasa, saat ini keduanya masih berada dalam tahap tetarik lewat pandangan mata. Karena selebihnya, mereka adalah manusia yang tak sengaja diperangkap takdir semesta. Masalahnya, mereka menerima.

“Pak, ada yang menghubungi Bapak,” Tara menyodorkan ponsel hitam pada bosnya setelah mereka keluar dari ruang meeting. “Sudah dua kali berdering dengan nama penelpon yang sama, Pak,” lapornya menjajari langkah sang atasan.

Affan menerima ponselnya sambil jalan. Sebelah alisnya terangkat saat nama Anin tertera di sana. “Kenapa nggak kamu angkat, Tar?” ia melirik arloji dan membiarkan getar panggilan itu berakhir.

“Calon istrinya Bapak ‘kan? Saya nggak mau ah, Pak, nanti salah paham kayak mantan Bapak yang terakhir itu.” Berita mengenai Affan yang akan menikah, sudah tersebar dengan baik. Bukan sekadar gosip, kabar tersebut disampaikan langsung oleh pemilik perusahaan ini. Diberitahukan saat rapat bulanan tengah berlangsung, Hartala mengumumkan bangga tentang rencana pernikahan cucunya itu. “Saya masih inget lho Pak, gimana saya dicemburuin waktu itu.”

Affan menanggapinya dengan tawa kecil sambil menyimpan ponselnya di saku. Ia memang memberi izin pada sekretaris dan juga asisten pribadinya untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponsel saat ia tengah menghadiri meeting. Ia takut kalau-kalau telepon yang ia abaikan selama rapat adalah panggilan penting dari keluarga.

“Kok nggak diangkat teleponnya, Pak?”

“Nanti aja. Saya mau ke ruangan Bang Tama dulu. Ada yang mau saya bahas.”

“Cewek dicuekin ngambek lho, Pak,” seloroh Tara yang sudah bekerja dengan Affan selama tiga tahun ini.

“Biar saja, dia bahkan sudah mengabaikan saya semalaman,” Affan mendengkus pendek.   Lalu ikut mengantre dengan beberapa karyawan lain di depan lift. “Siang ini saya nggak ada jadwal meeting yang lain ‘kan? Setelah dari ruangan Bang Tama, saya mau pergi dulu.”

“Tapi sore nanti, Bapak ada janji bertemu dengan pihak legalitas bandara. Untuk pembahasan isi perjanjian yang akan diperbaharui.”

Lalu ponsel Affan berdering lagi. Ia rogoh saku dan menemukan nama Anin kembali di sana. Memutuskan mundur, Affan berjalan ke lorong yang sedikit sepi. Ia angkat panggilan Anin setelah mengisyaratkan pada sekretarisnya agar tak usah menunggu. “Ya, Nin?”

***

Anin menghela lega. Ia tarik salah satu kursi di meja makan dan duduk di sana sambil memijat kening. “Aku nelpon daritadi.”

“Aku meeting, rencana mau nelpon kamu nanti. Biar ngobrolnya lebih lama.”

“Oh, jadi lagi meeting?”

“Udah selesai kok.”

Anin diam. Ia mendongakkan kepala dan menatap langit-langit dengan punggung bersandar. “Nanti sore bisa mampir? Aku mau nitip sesuatu buat Tante Rike.”

“Aku usahain.”

Kening Anin mengernyit. Ia pandangi layar ponselnya serius. Obrolannya dengan Affan memang tak pernah berlangsung lama. Tidak juga berisi tiktok keceriaan atau saling melempar pertanyaan. Namun, untuk kali ini entah kenapa terasa sangat dingin. “Kamu kenapa?” tanyanya hati-hati. “Marah?”

Helaan napas Affan terdengar. “Aku khawatir. Dan kamu kayak mati suri yang nggak bisa kuhubungi sejak pagi.”

Anin meringis. Senyumnya terbit sekilas sebelum ia hapus cepat. Rasanya, ada yang salah dari kalimat yang dilontarkan Affan barusan. “Aku baru bangun. Nggak enak badan, jadi pagi tadi cuma minta obat dan tidur lagi.”

Bening Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang