103. Reaksi

699 111 3
                                    

"Kim Minkyu."

"Gue suka sama lo."

".............."

Minkyu mematung. Ia langsung menelan ludah saat dua kalimat itu dilontarkan. Lareina pun bisa melihat jakun Minkyu yang bergerak sedikit. Perasaan gadis itu tercampur aduk antara lega dan malu, namun sebenarnya, ia masih semangat untuk mengatakan semuanya.

"Ayo, Rei......."

"Jangan diem........"

Faktanya, hanya debur ombak yang terdengar di telinga mereka. Jika dihitung dengan alat perekam suara yang menyala di ponsel Lareina, sudah tiga puluh detik mereka bungkam. Keberanian mereka seolah hilang dan tenggelam di lautan yang luas itu.

"Lareina......"

"Lo........."

Suara Minkyu terdengar lebih berat dari biasanya. Volumenya pun berubah pelan. Nyali Lareina sempat menciut, namun ia berhasil mengatur hormon adrenalinnya.

"I-iya, Ming."

"Gue suka sama lo dari kelas sebelas."

Sebelum menjelaskan alasannya, Lareina menghela nafas dalam-dalam. Ia harus mengatakannya secara lancar tanpa terbata-bata.

"Sebenernya semua ini berawal dari perpustakaan umum. Gue sering liat lo begadang di sana dengan seragam sekolah Produce X. Karena gue tau kita satu sekolah, gue pengen banget ngajak lo kenalan, Ming. Tapi gue malu."

"Yaudah, gue tunda sampe beberapa kali pertemuan. Tiap gue ketemu lo, pasti ada aja yang lagi lo kerjain. Entah matematika, entah akuntansi, padahal yang gue inget waktu itu bukan pekan ulangan. Dari situ gue kagum banget sama sifat rajin dan semangat belajar lo, Ming."

"Kekaguman gue bertambah waktu kita sekelas di XII IPS 1. Disitulah gue tau sifat asli lo. Lo pinter, lo peringkat satu, lo anak kesayangan semua guru, tapi lo tetep setia kawan dan disegani temen-temen. Even Mahiro, yang kerjaannya fansign di ruang guru pun bisa nurut sama lo. Kalo Junghwan mah biarin aja, itu anak kan kebanyakan nyemilin mba Sasa."

"Asal lo tau, gue memandang lo sebagai seseorang yang unik, Ming. Di dunia ini, banyak cowo yang badannya tinggi. Banyak juga cowo yang matanya bagus dan hidungnya mancung. Tapi, cuma satu orang dengan ciri-ciri tersebut yang bisa bikin gue tertarik, yaitu Kim Minkyu. Tiap liat muka lo, gue ngerasain satu aura khas yang nggak pernah dimiliki orang lain. Dan gue suka itu."

"Ketika gue tau kalo lo punya kekurangan dari segi keluarga dan materi pun, gue nggak illfeel. Ini terdengar menjijikkan, tapi gue malah makin sayang sama lo. Gue pengen jagain lo dari orang-orang jahat. Gue pengen mempertahankan kebahagiaan lo, yang nggak seharusnya direbut orang lain."

"Saat gue tau lo sakit kanker pun, gue bertekad untuk dukung lo sampe sembuh. Gue nggak peduli, mau badan lo jadi kurus, rambut lo rontok, atau yang lainnya. Buktinya, sampe sekarang gue masih ada disini kan? Gue nggak akan membiarkan siapapun ngelukain badan lo walaupun cuma satu senti, Ming. Gue pengen ngeliat Minkyu yang sehat lagi."

"Terserah lo, mau memperlakukan gue kayak apa setelah ini. Lo mau pulang dan ninggalin gue di tengah laut ini sendirian pun, gue nggak akan marah. Gue sadar kok, gue nggak ada apa-apanya dibanding cewe lain. Gue cuma mau jujur tentang semua yang gue pendem selama ini. Ya, lebih dari satu tahun."

"Gue rasa ini cukup. Gue nggak akan maksa lo untuk sayang sama gue, engga kok. Gue ingatkan sekali lagi, kalo lo risih, lo nggak perlu ngusir gue. Karena gue bakalan pergi dari hidup lo. Gue bakal terbang ke Australia, dan lo nggak akan pernah liat gue lagi."

Lareina mengakhiri kalimatnya. Di satu sisi ia merasa lega karena seluruh isi hatinya tersalurkan, namun di lain sisi, ia harus siap menanggung segala resikonya.

"Lareina." Ucap Minkyu datar.

"Iya, Ming?"

"Gue nggak tau harus ngomong apa lagi sama lo."

"K-kenapa?"

Minkyu terdiam sambil menikmati cahaya matahari yang terbenam di ufuk barat. Sesekali ia menyibakkan rambutnya yang tertiup angin laut. Sementara itu Lareina masih mengharapkan jawaban Minkyu, karena itulah yang akan menentukan nasibnya setelah ini.

"Ming......"

"Kok diem?"

"L-lo marah sama gue?"

Minkyu malah memberi tatapan kosong ke arah lautan dan menghiraukan Lareina. Suara sang gadis mulai bergetar, tangisnya pun pecah.

"Maafin gue, Ming."

"Iya, gue nggak seharusnya suka sama lo."

"Gue emang masih banyak kurangnya, nggak sesempurna Siti, cewe yang lo suka dulu."

"Gue pamit ya?"

"Gue janji nggak akan ganggu lo lagi."

Lareina bangkit dari batu karang sambil mengelap air matanya. Namun baru berjalan sedikit, seseorang yang duduk di sampingnya tadi sudah menahan tangannya.

"Lareina Alodia Hakim."

"Apa, Ming?"

"Kan gue belum selesai ngomong....... Dengerin dulu dong, hahaha......."

"Ish, iseng banget sih!"

"Jangan nangis, nanti make-up nya luntur......"

Guna menebus rasa bersalahnya, Minkyu segera memeluk Lareina erat-erat. Tangannya mengelus rambut gadis itu, lalu menyeka air matanya.

"Lo hebat, Lareina."

"Selama delapan belas tahun, baru ada dua cewe yang berani nyatain perasaan sayangnya ke gue. Yang pertama almarhumah ibu, yang kedua lo."

"Ming...... Emangnya lo nggak illfeel sama cewe agresif kayak gue?" Tanya Lareina ragu.

"Nggak. Ngapain?"

"Gue malah berterima kasih atas kejujuran lo. Gue sangat mengapresiasi itu. Lo cewe pemberani. Dan spesies kayak lo itu langka."

"Oh iya, makasih udah sayang sama gue, Na. Gue ngerasa beruntung bisa disayang sama orang sebaik lo. Gue akan buktiin, kalo gue layak buat lo."

"Nggak ada yang perlu dibuktiin, Ming. Lo emang pantas untuk dicintai."

Senja itu melukis senyum di wajah Lareina dan Minkyu. Sebelum matahari terbenam dan dunia menjadi gelap, mereka saling bertatapan. Jika mereka bisa menghentikan waktu, momen inilah yang akan mereka pilih. Lareina ingin selalu berada di samping Minkyu, begitupun sebaliknya.

"Na, kita ke destinasi selanjutnya yuk?"

"Udah malem, pantainya udah gelap."

"Ada hal yang mau gue omongin ke lo di tempat selanjutnya."

Sekarang, giliran Minkyu yang berdebar-debar. Minkyu harap, Lareina bisa menerima apapun yang dikatakannya nanti.

************







Insight | Kim MinkyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang