💓33. Auschwitz II💓

569 113 20
                                    

Beatrix digiring bersama para perempuan lainnya memasuki kereta dan duduk di gerbong yang berlainan dengan Patris dan Dewa. Dia hanya bisa meringkuk di salah satu sudut gerbong. Riuh para wanita bersama anak-anak yang gelisah, tak dihiraukan oleh Beatrix. Asanya bagai buluh terkulai yang hampir padam. Menyalahkan Tuhan yang membuatnya menderita dan harus bergulat dengan kecemasan yang senantiasa menghantuinya.

Beatrix hanya bisa memeluk badannya yang gemetar. Gigi serinya tak henti-henti menggigit kuku yang sudah pendek. Ketakutan, kecemasan dan kekhawatiran merenggut nalar dan logikanya. Beatrix yakin dia sudah gila. Kewarasannya sudah terkikis oleh semua hal yang terjadi dalam hidupnya, dimana kenyataan tak sesuai dengan harapan.

Keinginan Beatrix untuk hidup damai di negeri Belanda hanya angan dan harapan kosong. Kenyataan pahit yang bertubi datang membuatnya harus menelan pil pahit kekecewaan. Ingin menangis pun tidak bisa. Orang di situ pun memilik nasib yang tak menentu seperti halnya dirinya.

Ya Tuhan, kenapa tidak Kau ambil saja hidupku? Aku takut, Tuhan! Di mana Engkau saat aku merintih, dan memohon!

Sungguh Beatrix sudah terlalu lelah menjalani semua penderitaan. Terlebih dirinya harus berpisah dengan Dewa Pamungkas, lelaki yang menjadi alasannya untuk selalu kuat menjalani cobaan, walau rasa perih di hatinya juga mendera tatkala hati Dewa hanya tertuju pada seorang gadis bernama Himeka Keinan.

Suara langkah gesekan lantai gerbong kereta dengan boot bergema di udara. Seorang perwira memasuki gerbong, dan para wanita yang ada di situ menepi memberi jalan bagi lelaki yang berseragam SS. Lelaki itu membawa sebuah kentang rebus yang masih hangat di tangannya.

Dan ketika melalui Beatrix, kentang itu terlepas, menggelinding di depan sepatu Beatrix. Lelaki tinggi besar itu menghampiri Beatrix yang semakin beringsut karena ketakutan. Tentara itu berjongkok seraya mengambil sebutir kentang yang ada di dekat kaki Beatrix.

"Beatrix, ini aku!" desis lirih tentara yang ternyata adalah Oliver.

Beatrix menoleh dan melihat wajah tentara yang kini dagunya sudah ditumbuhi bulu-bulu halus. "Tenang, aku akan melindungimu!"

Segera Oliver bangkit dan mengedipkan matanya memberi tanda bahwa Beatrix tidak sendiri. Beatrix hanya mendongak mendapati pemuda itu berdiri. Beatrix bisa menangkap raut kecemasan dan prihatin di wajah pemuda itu. Pemuda yang mencintainya, tetapi tak dapat dibalas cintanya oleh Beatrix.

Beatrix menenggelamkan wajahnya semakin dalam di bawah lengan yang bertumpu di lutut. Melihat Oliver membuat hatinya hangat, sekaligus ngilu. Betapa lelaki berpakaian SS itu masih mempunyai hati yang murni di tengah kelamnya perang yang semakin mencekam.

Isakan halus menguar bersamaan dengan derik laju gerbong kereta yang ditarik lokomotif tua. Perjalanan berhari-hari terasa begitu menyesakkan seolah Beatrix sedang mengantri menuju neraka. Namun, sebelumnya dia harus bertarung mati-matian terlebih dahulu dengan malaikat pencabut nyawa. Bila dia bertahan, pastilah nyawanya masih bersatu dengan raga saat perang usai.

Hah, kapan perang dingin ini usai?

Hanya Tuhan yang tahu. Hidup Beatrix dipenuhi ketidak pastian. Dan bertahan sebelum akhirnya mati itu hanya pilihannya.

Kereta api berhenti di Stasiun Auschwitz. Seperti yang lain, Beatrix kemudian dipilah untuk dikirim ke kamp konsentrasi khusus kaum Yahudi. Selama perjalanan, Beatrix hanya diam tak banyak bicara. Semua pun membisu, gelisah dengan nasib masing-masing dan langkah mereka hanya menurut arahan serdadu yang menggiring mereka layaknya domba yang hendak dibawa ke pembantaian.

Beatrix menatap kosong. Pikirannya melayang entah kemana dan ia pun tak tahu apa yang dipikirkannya. Semua terasa gamang seperti langkahnya yang terasa ringan menapak bumi. Suara dehaman terdengar. Beatrix yang awalnya terkungkung dalam lamunannya, menggulirkan manik mata ke sudut kiri matanya.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang