🇳🇱 11. Malam 🇳🇱

725 128 35
                                    

Sentuhan ringan itu mengejutkan Dewa. Ditepisnya kuat tangan Beatrix menimbulkan suara 'plak', menghantam tulang yang hanya terbungkus sedikit otot itu. Beatrix mengaduh, mengelus pergelangan tangannya. Rasa sakit tidak dirasa di lengannya melainkan di ulu hati. Bukan ... Beatrix bahkan tidak tahu di mana tempat rasa sakitnya. Perih itu membias dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya. Tak tahu pasti ujung pangkalnya.

Gadis itu meringis, terlihat seolah meratapi pergelangan tangannya yang memerah. Sesekali menggosok pelan tangannya, memperkuat sakit fisik yang dirasa. Walaupun sebenarnya dia merintih, mengeluarkan sesak di hatinya.

"Deo, kamu sedang apa? Membuatku kaget saja," ucap Dewa terlihat sedikit bersalah. Lelaki itu bergegas mengusap sisa buliran di pelupuk matanya agar tak terlihat lemah. Dewa segera bangkit, menegakkan separuh tubuh. Sikunya masih menumpu di kasur membuat spreinya tertarik di titik tumpuan.

"Ah, aku pikir aku melihat kotoran di pelipismu. Ternyata bukan," jawab Beatrix yang tahu bahwa Dewa tak ingin dirinya tahu bahwa dia menangis. Dalam hati, Beatrix berharap gumamannya tadi tak didengar Dewa.

"Mana?" Dewa mengusap-usap pelipis dan menyadari bagian wajahnya itu terasa basah.

"Kamu menangisi Keinan, ya?" Mata Beatrix menyipit melempar godaan pada Dewa. Lagi-lagi demi menghibur Dewa, dia menyayat hatinya sendiri. Bagaimanapun Beatrix adalah seorang wanita. Pandai menyembunyikan apa yang dirasakan, dan yang diucapkan jauh berbeda.

Lelaki jangkung itu mencebik, memukul lengan kecil Beatrix, membuatnya hampir terguling ke lantai. Di mata Dewa, 'Deo' adalah lelaki. Sama seperti dirinya. Dan sikap Dewa menyadarkan keberadaan diri Beatrix, yang menyembunyikan jati diri nya sebagai perempuan.

"Deo, kamu harus makan banyak. Badanmu kurus sekali." Dewa mencondongkan badannya. Tangan panjang Dewa segera menangkap Beatrix yang hampir terjungkal karena dorongannya, dan menarik ke tengah kasur.

Sekarang mereka duduk. Dewa dengan kaki terlipat dan Beatrix duduk bersimpuh di atas kasur bak orang akan nyinden.

Hening sesaat. Kecanggungan menyelimuti udara kamar membuat keduanya tak nyaman.

"Wa."

"De."

Mulut mereka terbuka bersamaan, saling memanggil dengan suku kata yang terdengar hampir sama. Nama yang hampir sama bunyi ... sama arti.

"Apa?"

"Apa?"

Lagi-lagi gelombang bunyi Dewa dan Beatrix beradu di udara. Buru-buru Dewa mengambil alih percakapan. Lelaki itu memegang kedua lengan Beatrix. Menghadapkan tubuh Beatrix di depannya. Menyetarakan kepalanya dengan kepala gadis itu. Manik matanya lurus memandang bola mata biru milik 'Deo'.

"De, kamu laki-laki. Laki-laki harus jantan. Perhatian boleh tapi jangan terlalu ..." Dewa tak mampu melanjutkan katanya."intinya, jangan membuat kita seperti pasangan gay!"

Kalimat awal menampar Beatrix. Melarangnya untuk memperhatikan Dewa sekarang menjadi hal yang sulit. Perasaan yang baru saja disadarinya berawal dari perasaan nyaman saat memperhatikan lelaki yang hatinya remuk itu.

Keinginan ingin membebat luka batin Dewa membuat Beatrix yang tertembak panah asrama Dewi Cinta. Dan sekarang, Beatrix tidak boleh memperhatikan Dewa. Itu namanya sama saja menyuruhnya tidak makan minum!

"Dan kamu menyentuhku seperti ini semakin membuatmu seperti gay," ujar Beatrix menepis lengan yang dikungkung Dewa. Pelan-pelan diturunkannya tangan Dewa. Dewa terkekeh.

"Aku mencontohkan ...," kilahnya.

Beatrix membalas dengan cengiran di wajahnya. Cengiran yang menutup sayatan hatinya. Tidak ingin melanjutkan percakapan aneh itu.

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang