bagian dua puluh dua

5.3K 737 245
                                    

Abrega melepas jaketnya, lalu menyodorkan pada Aneera. "Pake nih, dingin udah malem." Ucapnya.

Aneera yang sudah lelah menangis menoleh. "Nggak usah, nggak dingin kok." Sahutnya.

Abrega mengembuskan nafas lalu menyampirkan jaketnya ketubuh Aneera. "No komen, harus di pake, angin malam kurang bagus Aneera."

Aneera kemudian pasrah. "Makasih." Ucapnya.

Abrega melirik Aneera. "Kalo mau cerita, cerita aja ya gue siap dengerin. Tapi kalo nggak mau ju-"

"Orang tua gue udah cerai Kak." ucap Aneera tiba-tiba.

Abrega yang terkejut mendengar itu spontan menatap Aneera dengan serius.

Aneera melirik Abrega lalu kembali menghadap ke depan. "Tepatnya tiga tahun lalu." Aneera menarik nafas lalu membuangnya perlahan. "Mereka bercerai karena kesibukan mereka masing-masing."

Abrega mendengarkan Aneera dengan seksama.

"Papa dapet hak asuh gue. Dan awalnya gue sama sekali nggak perduli mau Papa atau Mama yang dapetin hak asuh gue. Karena mereka berdua sama." Aneera menatap Abrega. "Sama-sama sibuk dan lebih sayang sama pekerjaan mereka."

Abrega menatap ke dalam mata Aneera.

Aneera tersenyum tipis, lalu kembali menghadap ke depan karena air matanya mulai berjatuhan.

"Gue juga baru tau, ternyata emang ada orangtua yang memprioritaskan pekerjaan atas nama anak-anaknya."

Abrega menelan saliva saat suara Aneera terdengar gemetar.

"Papa itu jarang ada di rumah, malah mungkin rumah bagi dia adalah kantor, dan kantor adalah rumah." ucap Aneera seraya menghapus air matanya.

"Papa bahkan jarang atau mungkin bisa dibilang nggak pernah kasih gue sedikit perhatiannya, sampe-sampe gue ngerasa gue sendirian di dunia."

"An,"

Aneera menahan nafas, dia menutup matanya beberapa detik lalu perlahan membuang nafasnya.

"Tapi untung ada Mbok Loli sama Mang Pian." Aneera kembali menatap Abrega "Gue nggak tau gue jadi apa kalo nggak ada mereka yang perhatiin gue Kak." Aneera menelan saliva, tercekat. "Gue nggak tau, mungkin gue, gue nggak akan sampai di sini sekarang." Aneera menangis. Kali ini benar-benar menangis, dia masih bisa ingat bagaimana rasa sepi yang harus dia lewati sendiri, dia masih bisa ingat bagaimana rasanya tidak ada tempat untuk berbagi kasih sayang, Aneera membiarkan rasa sakitnya mengalir melalui air matanya.

Abrega mengambil tangan Aneera "Kalo gitu mulai sekarang gue yang akan perhatiin lo, gue akan jadi orang ketiga setelah Mbok Loli dan Mang Pian, gue nggak akan ngebiarin lo sendirian An." ucapnya.

Aneera berhenti menangis, dia menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. "Emangnya lo yakin gue mau?" sahutnya.

Abrega menelan saliva. "Ya-ya lo harus mau dong."

Aneera tertawa kecil seraya terisak. "Makasih Kak." Ucapnya.

Abrega tersenyum. "Baru pertama kali gue liat lo yang biasanya galak nangis gini." Ucapnya.

Aneera menghapus air matanya. "Gue nggak nangis!"

"Berarti dari tadi lo ngapain? nyanyi ya?"

"Iyaa,"

"Tumbenan lo ngaco."

"Biasanya lo ya?"

"Hahah, emangnya gue ngaco ya?"

"Bukan ngaco lagi tapi gila."

"Masa sih? tapi suka kan?"

Aneera menepuk lengan Abrega.

AbregaWhere stories live. Discover now