⚜Chapter 17⚜

2.1K 195 143
                                    

Akhirnya di sinilah mereka berada, di bandara dengan koper berisi baju yang mereka bawa. Saat Jina mengatakan untuk memesan tiket pesawat, ia mengatakan dengan sungguh-sungguh, maka dari itu Seulgi segera memesan tiket pesawat untuk mereka pulang ke Italia.

"Nyonya yakin dengan ini?" tanya si sekretaris dan sang CEO mengangguk mantap―walaupun ia menahan mati-matian air matanya.

Mereka berdua duduk di ruang tunggu sambil menunggu pesawat datang, dikabarkan pesawat menuju Italia sampai beberapa menit lagi dan Jina yakin tidak akan ada yang menghalanginya untuk pergi.

"Nyonya, apa saya boleh jujur?" tanya Seulgi dan nyonya nya mengangguk.

"Tentu boleh, apa yang ingin kamu katakan?" tanya sang CEO.

"Saya kecewa dengan nyonya."

Seketika Jina bungkam dan tertegun. Baru kali pertamanya ia mendengar seorang sekretaris yang berkata kalau ia kecewa dengan atasannya dan kali ini yang mengalami kejadian seperti itu adalah dirinya sendiri.

"Kenapa?" tanya nya mencoba untuk tetap tenang.

"Saat saya bekerja sebagai pelayan di restoran dulu, saya sangat kesusahan karena mendapat gaji yang kecil."

Jina mendengarkan semua yang dikatakan oleh si sekretaris, ia tidak berencana untuk memotong perkataannya atau yang lainnya.

"Kemudian nyonya datang dengan pakaian sederhana ke restoran itu dan saya melayani nyonya. Saat itu saya belum tau kalau nyonya mencari seorang sekretaris."

"Lalu nyonya memesan makanan dan saya yang membawakannya―setelah saya menaruh makanannya, nyonya memberikan kartu company kepada saya dan meminta saya untuk datang keesokan harinya."

Seulgi mengambil nafas sebentar dan menatap sang CEO yang masih diam dan mendengarkan, membuatnya lebih gugup karena baru kali ini ia jujur dengan atasannya.

"Saat di company, tiba-tiba nyonya menyuruh saya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai pelayan dan menjadi sekretaris."

"Nyonya juga mengatakan saat ulang tahun company yang pertama kalinya kalau nyonya tidak akan meninggalkan keluarga nyonya yaitu company di Italia."

"Tapi, bukankah ini juga keluarga nyonya?"

"Kenapa nyonya meninggalkannya?"

"Saya kecewa karena itu."

Penjelasan si sekretaris benar-benar membuat Jina kehilangan kata-kata. Pikiran dan hatinya kembali bertengkar.

"Aku―"

"Nyonya! Nyonya!"

Sebuah suara mengganggu perbincangan mereka. Suara laki-laki yang familiar, Hansol.

"Ji Hansol? Kenapa kamu di sini?"

"Tuan muda―hahh.. Tuan muda―" ucapannya terhenti karena ia berusaha untuk mengambil nafas selega mungkin seusai berlari.

"HwaSoo? Ada apa dengannya? Katakan padaku!"

"Tuan muda kecelakaan!"

• • •

Kakinya berlari secepat mungkin di lorong rumah sakit, tidak peduli dengan orang lain yang melihatnya aneh karena larinya sangat cepat bahkan lebih cepat dari orang berlari karena khawatir seperti biasanya.

Yang ia pikirkan di kepalanya sekarang hanya satu, anaknya.

Nafasnya terengah dan keringat mengucuri tubuhnya. Matanya tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata ketika ia sampai di ruangan anaknya.

Anaknya di sana, terbaring lemah dengan darah yang mengalir di luar kepalanya, dengan tangan yang lecet dan luka di lututnya. Beberapa dokter sedang berusaha mengobati anaknya dengan berbagai alat, tali infus melekat di sana juga alat untuk membantu pernafasan anaknya.

Jina mendudukkan dirinya di kursi lalu menangis di sana. Ia butuh seseorang untuk menenangkannya dan ia tau siapa orang itu.

Suaminya, Choi Soobin.

"Soobin.. Soobin.." lirihnya pada dirinya sendiri, memeluk dirinya erat di kursi.

Kemudian ia mendongakkan kepalanya, menoleh ke samping dan mendapatkan suaminya sedang berjalan dengan seorang dokter sambil membicarakan sesuatu.

Mata mereka bertemu saat sang suami melewatinya, kemudian kontak mata mereka dilepas begitu saja setelah Soobin melihat istrinya dari ujung kepala ke ujung kaki.

Sedangkan Jina bingung, tadi terlihat seperti suaminya tidak mengenalinya sama sekali.

"Soobin!" panggilnya dan sang empu menengok sebentar, menunjukkan wajah datarnya kemudian kembali berbincang dengan dokter.

• • •

Hingga pukul 3 sore Jina masih di rumah sakit, menunggu dokter yang berada di dalam untuk menyuruhnya masuk atau memberi kabar tentang anaknya.

Setelah bertemu dengan suaminya tadi, ia tidak melihatnya lagi. Mungkin saja suaminya pulang atau pergi membeli makan, pikirnya.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan dan bertemu dengan Jina.

"Orang tua Choi HwaSoo?" dengan cepat ia mengangguk.

"Apa anakku baik-baik saja?" tanya nya tergesa.

"Anak anda mengalami kebocoran di kepalanya, membuatnya harus mendapat 3 jahitan di sana. Lalu, di lutut hanya luka biasa dan tangannya hanya lecet." jelas sang dokter tapi berhasil membuat sang ibu diam tidak percaya.

"Pendarahan di kepalanya sangat berbahaya, jika saja robeknya berhasil membuatnya mendapat 4 jahitan―bukan hanya kepala anak anda yang menjadi masalah, tapi mata nya juga." lanjutnya.

Hati Jina berdegup kencang begitu mendengarnya. Anaknya mengalami kecelakaan yang parah dan bahkan ia belum tau apa sebab kecelakaan itu.

"Baiklah, terima kasih."

Setelah itu ia membungkuk ke sang dokter dan masuk ke dalam ruangan. Begitu matanya melihat anaknya masih berada di dalam alam bawah sadarnya, matanya kembali panas dan air matanya lolos begitu saja.

"HwaSoo-ya.. Hiks.." isak nya dengan kedua tangan yang melipat di kasur dan kepalanya yang ia sembunyikan di sana.

"HwaSoo-ya, maafkan eomma―hiks.. Eomma tidak tau jadinya akan seperti ini.."

Brak!

Bunyi pintu di tutup begitu keras terdengar olehnya, membuatnya menoleh dan mendapatkan suaminya sedang berdiri tegak di dekat pintu dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam sakunya.

"Soobin.."

"Puas sekarang? Pergilah sesukamu. Aku sudah tidak peduli lagi."

TBC

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TBC.

double apdet karna aku tau kalian pgn konfliknya cepet selesai :)

ᴀɢᴀᴘᴇ ; sᴏᴏʙɪɴ ✔Where stories live. Discover now