Epilog

1.7K 302 52
                                    

Rasa sakit akan kehilangan orang yang disayangi adalah rasa sakit pertama dan paling menyakitkan yang telah Nigel rasakan. Dikhianati dan ditinggalkan oleh pamannya. Setelah itu cinta pertamanya mati tepat di depan mata. Rasa marah dan kebencian berkecamuk dalam hati Nigel selama berbulan-bulan. Padahal semua temannya sudah mulai merelakan kepergian Nia, tetapi bagi Nigel, hal itu tidak semudah berbalik badan dan melangkah tanpa menoleh ke belakang.

Dia sangat ingin melupakan hari itu, mimpi buruk yang terus menghantuinya tiap malam. Namun, rasa dendam yang semakin tumbuh di hatinya malah memperparah kondisi batinnya.

Nigel selalu menyalahkan dirinya. Kalau saja mereka tidak pergi ke Kalimantan. Kalau saja mereka tidak ke hutan itu. Kalau saja mereka cepat menemukan Nia. Kalau saja ....

Penyesalan demi penyesalan, semakin menenggelamkan Nigel lebih dalam ke lautan keputusasaan.

Buku catatan dan puluhan lembar kertas yang telah menguning, berserakan di sekitar Nigel. Catatan pamannya yang dia minta dikirimkan jauh-jauh dari Turki adalah satu-satunya benang merah yang bisa Nigel dapatkan. Dia berusaha mencari informasi terkait siapa dalang utama dari semua rentetetan malam terkutuk itu. Walau itu sama saja seperti mencari jarum beracun di tumpukan tinggi jarum yang tajam.

Pintu kamar terbuka, muncul wanita paruh baya beramput ikal yang di sela-sela rambut hitamnya mengintip uban yang jumlahnya sudah hampir menginvasi seluruh bagian kepalanya, mengintip ke dalam.

Sejenak dia memandang punggung anaknya yang sedang duduk bersilah dengan lautan kertas di sekelilingnya. Terbesit pertanyaan akan apa yang dilakukan anak tunggalnya itu, namun dia mengurungkan niatnya.

"Nigel, kamu ada di dalam?"

"Ya, Ma." Dengan tergesa-gesa, Nigel mengumpul semua catatan Ficus. Dia tidak mau sampai mamanya tahu apa yang ada di dalamnya. "Kenapa?" tanya Nigel sembari menoleh ke arah mamanya.

"Ada yang cari kamu."

Nigel terdiam sesaat. "Siapa?"

"Katanya temanmu."

"Oh ... iya, sebentar Nigel ke sana."

Mama Nigel pun berlalu dari pintu sembari berkata dengan nada jengkel, "Mama sempat kaget loh pas buka pintu. Rambut temanmu perak. Dasar anak milenial, rambut kok malah jadi kanvas lukisan."

Nigel tersentak mendengar ciri-ciri 'temannya' itu.

Sepengetahuan Nigel, tidak ada orang yang dia kenal memiliki rambut perak. Lalu, siapa yang ada di luar?

"Hai, Nigel."

Pintu kamar Nigel terbuka perlahan, di baliknya tampak sesosok wanita berumur sekitar dua puluh lima tersenyum miring kepadanya.

"Akhirnya ketemu juga."

"Siapa kamu? Apa maumu? Bagaimana kamu bisa mengenalku?"

"Bisa dibilang ... pamanmu yang membuat kita sampai bertemu di sini."

"Jangan-jangan ..." Nigel bangkit dan mengambil gitarnya, menjadikannya senjata kalau-kalau wanita misterius itu mencoba menyerangnya. "Kamu dalang dari semua ini."

"Mmm ... kurang tepat."

"Lalu, apa!"

"Heh, tidak sabaran sekali ini anak. Oke, alasanku jauh-jauh sampai ke sini adalah untuk ... dirimu." Wanita itu menodongkan jari telunjuknya ke arah Nigel.

"Kamu--"

"Eits! Bukan. Aku bukan organisasi yang telah memanfaatkan pamanmu."

"Siapa ... jadi kamu siapa!"

Wanita itu langsung tersenyum lebar dan memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Aku adalah orang yang memburu mereka. Dan aku tau semua hal tentang dirimu dan petualangan kecilmu di Kalimantan. Bagaimana kalau kita berbicara tentang bisnis kita? Sebab kita mengejar hal yang sama."

***

"Kamu ... bisa melihat ada kutilanak di sana? Di pohon dekat kelas kita?" bisik Tris kepada Ann.

Ann mengangguk perlahan. "Padahal ... dulu aku enggak bisa lihat seperti itu." Suaranya bergetar ketakutan.

Tidak terasa sudah satu bulan kejadian itu berlalu, tapi kehidupan mereka--terutama Ann tidak kembali sedia kala lagi. Dia tidak menyangka akan mendapatkan oleh-oleh dari desa terkutuk itu.

"Artinya, kamu baru bisa lihat semenjak keluar dari hutan itu?" tanya Tris memastikan.

"Iya. Parahnya lagi, di rumah, aku bisa lihat nenekku yang sudah lama meninggal sering muncul di dapur. Sekarang aku jadi takut ke sana dan bertatap muka dengannya." Ann menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis.

Tris memicingkan matanya dan menatap tubuh Ann dengan seksama. "Mungkinkah ini efek saat kamu diserang sama pamanya Nigel? Semacam mata batinmu terbuka."

"Aku ... tidak tau ...." Ann terisak-isak dalam rasa ketakutannya.

"Baiklah. Kita pergi ke tempat Nigel sekarang, minta kejelasannya tentang kondisimu."

"Ehhh ... jangan!"

"Kenapa, sih? Masih malu ketemu sama orang yang nolak kamu?"

Sejenak Ann menyeka air matanya dengan tisu yang dia ambil dari dalam tas jinjingnya. "Begitulah."

Tris mendengus keras. "Akhir-akhir ini kamu berubah, Ann. Dulu kamu kuat, sekarang jadi lembek. Semua gara-gara Nigel."

"Bu-bukan salah Nigel, kok! Ini ulah mataku yang bisa melihat makhluk tak kasat mata. Makanya, aku udah enggak bisa kayak dulu lagi," jelas Ann sembari menjauhkan tatapan matanya langsung ke arah Tris.

"Bohong, tuh," kata Zea yang baru tiba ke gazebo yang ditempati kedua gadis itu. "Ngomong-ngomong, kalian mau ketemu dengan Nigel, kan? Dia baru aja telpon dan menyuruhku untuk membawa kalian ke rumahnya. Oh ya, Xanor dan Cass sudah duluan pergi."

"Untuk apa?" tanya Ann dan Tris bersamaan.

"Sepertinya, kita akan melakukan petualangan baru lagi." Zea berseringai penuh kepuasan.

Coming soon, ON series.

***

Terima kasih buat para pembaca yang udah berkenan membaca karyaku yang masih berantakan ini. Kalian luar biasa, bisa tahan dengan tulisan acak-acakan ini 😭. Mohon maaf kalau tulisanku bikin sakit kepala.

Seperti yang kalian baca, cerita ini akan kembali berlanjut dengan petualangan yang berbeda lagi. Apa ada yang mau baca kelanjutannya engga???🤭

Akhir kata, sampai jumpa lagi di series berikutnya. Bye-bye. 😘

Note: jangan lupa mampir di ceritaku yang lain. Engga kalah serunya deh sama ON. 😆

Tertanda,

HygeaGalenica


Ominous Night✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz