[τ] PUZZLE

1K 324 42
                                    

Mainkan musiknya untuk suasana yang lebih mencekam.
Apocalypse Music - Ignition.

***

"Hiii ... matimija!" Cass kocar-kacir ke sana ke mari. Saking ketakutan, dia hanya berputar-putar di tempat. Padahal monster raksasa itu sudah semakin dekat.

"Ayo kita lari lagi. Kemungkinan untuk bisa lolos masih besar--"

Belum selesai Nigel berbicara, Nia menepuk punggung Nigel dengan lembut. "Tidak perlu. Kamu harus menyimpan staminamu. Tenang saja, dia buta dan penciumannya kurang baik."

"Buta? Chimera (1) setengah gorila, setengah gajah itu?" Cass menunjuk arah datangnya raksasa mengerikan yang sedikit demi sedikit memunculkan batang hidungnya.

"Iya. Selama kalian tidak bergerak, dia tidak akan sadar."

"Dia datang," bisik Ann memperingatkan yang lain.

Belum sempat mencari tempat aman. Makhluk itu sudah berada di hadapan mereka.

DUN. DUN. DUN.

Tiap langkah yang diambil monster tersebut, telah membuat tanah bergetar keras. Berbeda dengan gempa yang mereka rasakan sebelumnya, gempa ini bisa membuat tubuh terlonjak ke atas. Masih dengan taring tajam, wajah bengis nan mengerikan, serta bulu lebatnya, dia terus berjalan santai tanpa menyadari bahwa ada empat manusia kerdil yang ada di dekat kakinya.

Mereka berempat mematung di posisinya masing-masing. Tidak bergerak sesenti pun. Kaki monster itu sangat dekat dengan tempat mereka berdiri. Ketakutan terbesar mereka adalah terinjak dan penyet dengan kaki raksasa itu, sebab kenyatannya, mereka tepat berada di jalurnya.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Tenggorokan kering bagaikan gurun Sahara. Jantung berdenyut sangat cepat, melebihi genderang pertanda perang. Rasa kesemutan di kaki menjalar naik ke seluruh tubuh. Hingga tiap saraf terasa berdenyut.

Nigel ingin sekali berteriak. Ingin sekali menggerakan kakinya, mengendap-endap untuk sekadar menjauh dari zona merah.

Perlahan-lahan Nigel menoleh ke arah Ann. Gadis itu menggigil hebat. Kedua tangannya menggenggam dagu sangat erat, berusaha untuk menahan gemelutuk rahang yang akan menimbulkan suara yang keras.

Lalu Nigel melihat ke arah Cass. Matanya tertutup sangat rapat. Tangannya dia kepalkan sangat kuat. Begitu pula dengan gigitan bibirnya. Nigel bisa melihat deretan gigi atas Cass yang putih menusuk bibir bawahnya hingga berdarah.

Terakhir, Nigel memandang Nia yang berada di sebelahnya. Napas Nia tampak terputus-putus. Matanya mulai berair. Berbeda sekali dengan bibirnya yang kering dan pucat.

Mencoba untuk menenangkan, Nigel meraih telapak tangan Nia. Kaget dengan tindakan Nigel, Nia tersentak dan segera menatap ke pemuda bertindik dua itu.

Bukannya merasa bersalah, Nigel terus menatap Nia dengan penuh arti. Sebenarnya Nia sedikit marah dengan tingkah laku Nigel. Namun, entah kenapa, dia malah terpesona dengan dua netra cokelat yang mulai menelan dirinya lebih jauh ke dalam. Kalau memang Nia akan mati di situ, setidaknya dia bisa mati bersama orang yang dia sukai.

Monster itu terus melangkah tanpa henti. Semakin lama, dia menjauh, dan pergi ke sisi hutan yang lain.

Mereka langsung menghela napas lega.

"Aku ingin cepat pulang dan tidak akan menginjakkan kaki lagi di Kalimantan," ujar Cass sembari menghapus darah di mulut dengan punggung tangannya.

***

"Kamu mau membawa kita ke mana, Nia?" tanya Ann tersengal-sengal.

"Ke tempat dia berada."

Setelah berhasil melewati sang Raja Hutan, dengan dituntun Nia, mereka pergi ke sebuah lereng yang lumayan terjal. Bersama-sama mereka saling bahu-membahu untuk bisa sampai ke puncak bukit.

Ominous Night✓Where stories live. Discover now