[β] BORNEO

2.4K 497 110
                                    

"Nia, tadi kamu hebat," ucap Nigel kagum.

"Kenapa? Oh, balita yang duduk di sampingku? Aku suka dengan anak kecil, makanya aku mudah mendekatinya. Bukan hal yang spesial."

"Tidak, kamu seperti ... bisa membaca pikiran--maksudku menenangkan perasaan orang lain, begitu. Si ibu saja tidak bisa menghentikan tangisan anaknya sendiri."

"Kamu bisa aja, Nigel." Bagai nyanyian surgawi, Nia mengembangkan senyum malaikatnya pada Nigel. Sejenak jiwa pemuda itu telah disucikan.

Kejadian yang baru saja berlalu itu terjadi di atas pesawat. Balita yang duduk tepat di sebelah Nia menangis sejadi-jadinya, sampai-sampai para pramugari tidak bisa berbuat apa-apa.

Nia meminta izin kepada sang ibu untuk memperbolehkan dirinya memangku anaknya. Sesaat balita itu sudah berada di dekapan Nia, lambat laun tangisannya mulai berhenti. Gadis itu bersenadung merdu di telinga si anak hingga dia tertidur pulas. Ibu dan para pramugari sangat berterima kasih kepada Nia yang telah membantu mengkondunsif situasi di sana.

Nia memang gadis yang lemah lembut. Gadis muda berparas cantik dan memiliki aura wanita yang mapan. Rambut pendek sebahunya memberi nilai tambahan akan kedewasaan. Anak kecil yang rewel saja bisa dia taklukkan dengan mudah. Apalagi orang dewasa yang masih bujangan seperti Nigel.

Sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi itu berjalan santai di jalur kedatangan dan mendapati seseorang melambaikan tangan ke arah mereka.

"Selamat datang di kota tepian!" seru pria paruh baya bertubuh buntal yang menyambut kedatangan Nigel and the gang.

"Ayah, aku pulang." Nia berlari kecil-kecil menuju ayahnya. Pria itu memeluk putrinya dengan erat untuk sejenak melepaskan kerinduan. Beliau adalah ayah Nia yang menetap di Samarinda, kota kelahiran Nia.

"Halo, Om. Saya Nigel," sapa Nigel sopan sembari mengulurkan tangannya yang langsung dibalas dengan jabat tangan hangat dari ayah Nia.

"Bagaimana perjalanan kalian? Apa ada yang lapar?" tanya ayah Nia dengan nada lembut. Dia memang ayah kandung Nia. Sifat ramah Nia pasti diambil dari ayahnya.

"Aku! Aku! Lapar sekali, Om!" Zea mengangkat tangannya seperti bocah berumur lima tahun.

"Zea! Berhentilah bertindak bodoh." Ann mencubit pinggang Zea hingga cowok bertindik satu itu mengeluarkan suara aneh. Mirip kucing mau kawin.

Setelah semua barang bawaan sudah berada di bagasi mobil, mereka segera meninggalkan bandara, menuju kediaman Nia di tengah kota. Waktu perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu satu jam lebih. Membuat Zea yang tadinya bersemangat, pingsan di kursi paling belakang. Mereka tiba sebelum matahari terbenam.

Malamnya, Nigel dan yang lainnya makan malam bersama dengan keluarga kecil Nia. Ibu Nia sangatlah cantik, juga awet muda. Tris saja sempat kaget ketika ibu Nia membisikkan umurnya kepada gadis itu. Begitu pula dengan adik Nia yang masih berumur sepuluh tahun, manis dan menggemaskan.

Tak terasa waktu telah menunjukkan tengah malam. Ketujuh pemuda-pemudi itu mendapat jatah dua kamar; kamar Nia digunakan untuk kaum Hawa sedangkan kamar tamu untuk kaum Adam. Mereka akan melanjutkan perjalanan menuju tempat penelitian keesokan harinya.

Di kamar para pemuda jones; Nigel, Zea, Xanor, dan Cass sudah bersiap untuk tidur. Dengan kasur ukuran super king size, mereka berusaha membagi diri agar bisa tidur berempat di atas kasur empuk yang tersedia. Meskipun badan Xanor terbilang besar, masih bisa diatasi dengan tubuh Nigel dan Cass yang hemat tempat.

Sikat gigi, sudah. Cuci kaki dan muka, sudah. Minum segelas air putih, sudah. Nigel bersiap untuk menutup matanya.

Namun, Zea yang berada di paling pojok tempat tidur, masih sibuk dengan kripik singkongnya. Suara renyahnya singkong di mulut Zea membuat Nigel sebal.

Ominous Night✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant