[π] KECURIGAAN

1K 346 26
                                    

Malam itu masih tidak berubah sama sekali. Cahaya merah dari pepohonan masih bersinar remang-remang di antara kegelapan. Kesunyian yang terlalu pekat malah membuat mereka was-was jika mendengar suara sekecil apapun. Namun, hal itu tidak akan menggentarkan Nigel dan Tris. Mereka sudah membulatkan tekad untuk keluar dari perlindungan, berani ke zona merah untuk menyelidiki apa yang ada di balik desa yang sudah terbengkalai tersebut.

Tris setuju menemani Nigel mencari bukti sebelum mereka semua menyeberangi sungai. Sebisa mungkin tidak ada pentunjuk yang tertinggal. Semakin mereka mengetahui tentang desa, semakin dekat pula mendapatkan cara kabur dari tempat laknat itu.

Rumah-rumah yang mereka jajah tidak memberi hasil yang mereka mau. Satu per satu tempat mereka datangi. Untungnya monster jadi-jadian yang sempat menyerang Nigel tidak muncul. Suasana di sana masih sunyi, sesunyi kehampaan. Langit hitam tak berujung, bagaikan malam yang tidak pernah berakhir. Namun di sana tidak ada suara jangkrik atau lolongan anjing. Seolah mereka dibukam, atau lebih tepatnya sedari awal mereka sudah lama lenyap tak bersisa.

Tersisa satu tempat, setelah itu Nigel dan Tris akan kembali ke pos utama. Jika dilihat sepintas, bangunan itu lebih tepat dibilang gubuk dibandingkan rumah kecil. Baru saja Nigel dan Tris masuk, rak-rak tinggi berisi banyak buku lusuh dan tak terawat telah menyambut mereka berdua.

"Hebat. Di desa gini ada perpustakaan." Tris mengambil salah satu buku di rak. "Aku tarik lagi kata-kataku. Ini bukan buku biasa." Gadis itu menyerahkan buku yang tadi dia ambil ke Nigel.

Nigel membacanya sekilas. "Ini buku obat-obatan tradisional. Mereka menyimpan resep turun temurun di sini." Nigel mengembalikan buku tersebut ke tempatnya, lalu mengambil buku yang ada di rak sebelahnya. Dia kembali membacanya dengan cepat.

Pria berambut gondrong itu melihat sekeliling; ada satu tempat tidur yang beralasakan tikar dan tampak tidak nyaman untuk ditiduri, meja dan dua kursi yang saling berhadapan, dua lemari kayu dengan berjejer laci-laci kecil, serta beberapa baskom kosong dan handuk di dekatnya.

"Sepertinya tempat ini dulunya semacam tempat pelayanan kesehatan atau tempat praktik dukun."

Mendengar hal itu, Tris segera membuka semua laci yang ada di lemari, berharap ada benda tajam yang bisa dia gunakan nanti. Sayangnya, pencariannya sia-sia. "Tidak ada apa-apa di dalam lemari, malah seperti ada orang yang sudah membabat habis isinya."

"Mungkin orang-orang yang terjebak di sini sudah duluan mengambilnya," tebak Nigel yang membuat Tris mengangkat alisnya sebelah.

"Dan ke mana kah mereka sekarang?"

Nigel mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu. Tapi semoga saja mereka lebih beruntung dibandingkan kita."

Tris mendecap-decap lidahnya. "Enggak usah deh, doakan orang lain. Lebih baik doakan keselamatan kita sendiri."

"Tris, kata-katamu, agak kejam."

"Ya ampun." Tris memutar bola matanya dengan malas. "Nigel, coba kutanya. Misal, kalau kamu di suruh memilih; antara perahu berisi enam bayi yang baru lahir dengan perahu berisi istrimu, yang mana kamu selamatkan?"

"Kalau aku bilang keduanya, bisa?" Nigel kebingungan untuk menjawab.

"Tch, pilih salah satu! Jangan sok naif."

Nigel tampak kesulitan memilih salah satu pilihan yang ada. Namun, dia akhirnya dapat melayangkan pilihannya. "Aku akan menyelamatkan perahu berisikan bayi."

"Jadi kamu rela orang yang kamu cintai mati?"

"Bukan rela. Itu adalah pilihan yang sangat berat dan aku tau pasti akan menyesal dengan keputusanku. Tapi ... bayi-bayi itu masih memiliki masa depan, mereka baru saja tiba di dunia ini. Terlalu kejam untuk membiarkan mereka mati dengan umur yang hanya hitungan menit."

Ominous Night✓Where stories live. Discover now