Dava langsung setuju dan berdiri mengikuti Reza yang terlebih dahulu keluar, di susul oleh Vino yang keluar paling terakhir. Persis di depan ruangan Dava, Elang sedang berdiri sembari berusaha mengontrol kekesalannya pada Dava. Kalau Elang tahu jadinya seperti ini, Elang tidak akan mau merelakan dirinya mengosongkan jadwal demi Dava, dan Elang menyesal.

Vino datang dan menepuk bahu Elang, "udah, nanti biar gue yang ngomong ke Dava. Dava gak akan kebuka otaknya kalau gak berdebat sama gue." Ujar Vino santai dan langsung berlalu meninggalkan Elang.

Elang mendengus dan memutuskan untuk menyusul. Mungkin benar kata Vino, hanya Vinolah yang bisa berdebat dan membuat pikiran Dava terbuka. Sama seperti hal-hal di masa lalu yang sudah mereka lewati bersama.

*****

Vanilla baru saja bangun dari hibernasinya setelah mengalami jatlag akibat perjalanan di pesawat yang begitu melelahkan. Ia bangun dan mengambil air dingin di dalam kulkas lalu meneguknya. Tak lupa Vanilla memberi makan kucing peliharaannya yang selama satu minggu belakangan di jaga orang seorang yang Vanilla sewa untuk membersihkan ruangannya selama ia kembali ke Indonesia.

Otak Vanilla memutar kembali kejadian di bandara yang membuatnya terus menangis di dalam pesawat. Rasanya sakit, tapi Vanilla yakin itu semua juga karena kepergiannya yang secara tiba-tiba. Vanilla tahu Dava sudah menunggu dirinya sejak lama, bahkan disaat Vanilla di kabarkan telah meninggal, Dava masih berharap untuk bisa kembali bersama Vanilla. Namun setelah semua itu terjadi, Vanilla malah pergi meninggalkan Dava karena tidak adanya satu pun kenangan antara Dava dan Vanilla.

Kenangan yang Vanilla miliki bersama Dava hanyalah kenangan ketika Dava mengetahui dirinya sebagai Vennelica. Bagaimana pertemuan Vanilla pertama kali dengan Dava, hari-hari yang sudah di lalui oleh Vanilla bersama Dava, Vanilla tidak mengingatnya.

Tiba-tiba Vanilla tertawa seperti ia baru saja bersenda gurau dengan seseorang, "shit!" umpatnya melempar gelas yang ia pegang ke tembok hingga pecah. Tangannya mengepal kuat, bahkan ia sempat memukul meja bar di hadapannya. Lalu setelah itu mata Vanilla mulai berkaca-kaca, tangannya melemas dan akhirnya ia menangis sesegukan.

"What the fucking who are you!?" ucapnya di sela-sela tangisan yang semakin menjadi.

"I have the same question, who are you?"

Vanilla mengangkat kepalanya dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru tempat tinggalnya. Vanilla merasa seperti baru saja ada yang menyahuti teriakannya. Suara itu terdengar sangat jelas, seperti seseorang yang sedang berbisik.

"Why do you always yelling at me?"

Suara itu kembali terdengar dan Vanilla masih menatap setiap sudut ruangan untuk memastikan bahwa ia sendiri. Jujur, Vanilla lebih takut dengan seseorang di banding hantu. Hantu tidak bisa membunuhnya, tapi seseorang bisa membunuhnya. Vanilla takut jika suara yang di dengar itu adalah suara dari seorang stalker yang diam-diam masuk ke dalam rumahnya dan mencoba untuk menghilangkan nyawa Vanilla.

"Gak, gak!" Vanilla menggelengkan kepalanya seraya menepuk kedua pipinya, "ini cuma halusinasi lo doang. Disini cuma ada lo dan Suzy, gak ada orang lain."

Vanilla bangkit dari kursi yang ia dudukin dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengunci pintunya rapat-rapat dan mengisi bathtub di sampingnya hingga penuh. Vanilla memutuskan untuk berendam di dalam air mawar, ia juga menyalakan lilin dengan aroma lavender yang selalu Vanilla nyalakan jika ia merasa lelah bekerja dan ingin merilekskan pikiran.

Vanilla pun langsung merendam dirinya di dalam bathub. Matanya terpejam namun otaknya tak berhenti memutar kejadian selama beberapa waktu belakangan. Vanilla juga masih berusaha mengingat apa yang terjadi di masa lalunya, kenangannya bersama Dava dan juga bersama sahabat-sahabatnya. Apa Vanilla yang dulu tidak berubah hingga sekarang? Apa Vanilla yang dulu gemar menghardik oranglain sehingga memiliki musuh yang mencoba untuk menghilangkan nyawanya? Apa mimpi yang selama ini datang di setiap tidurnya adalah bagian dari masa lalu buruk Vanilla? Apa mungkin Vanilla dulunya adalah orang yang jahat.

Semua itu terlintas di benak Vanilla, berputar seperti sebuah kaset yang rusak. Bukannya semakin tenang, Vanilla malah semakin gusar. Tubuhnya semakin tenggelam ke dalam air dan kilasan-kilasan masa lalunya mulai berputar.

"Vanilla! Gue gak nyangka ya lo sejahat ini! Pantes aja keluarga lo menganggap bahwa lo gila, psycho lo!"

"Mau tau banyak tentang gue? Gue pembunuh. Gue ngebunuh sahabat gue sendiri, gue juga menjebloskan seseorang ke dalam penjara dan membuat orang itu di deportasi dari negaranya sendiri."

"Vanilla! Vanilla! Help me! She's try to kill me."

"Dorr!"

"Useless."

"Video itu lo kan pelakunya? Lo kan yang sabotase mobil Leon sampai di kecelakaan!?"

"Lo yang buat Kevin meninggal dan Vanessa koma! Lo pembunuh! Yang seharusnya mati itu lo, bukan kevin."

Kilas bayangan di otaknya menggambarkan dirinya yang sedang memegang pistol dan mengarahkannya ke seseorang, lalu berganti menjadi kenangannya bersama Dava ketika Dava menyatakan perasaannya pada Vanilla di hadapan banyak orang. Tak lama kenangan itu berganti menjadi dua orang anak kecil yang sedang berada di taman rumah sakit, berganti lagi menjadi Vanilla yang pertama kali belajar bermain piano. Vanilla yang tertawa, Vanilla yang menangis dan berteriak, Vanilla bahagia bersama Dava, dan Vanilla yang berbicara pada dirinya sendiri.

"Sudah ku bilang, jangan jadi lemah! Nyawa di balas nyawa, karena pilihanmu hanya ada dua. Di bunuh atau membunuh."

"Kill.... HER!"

Vanilla langsung tersadar dan buru-buru mengangkat kepalanya yang terendam di dalam air. Napasnya terengah-engah dan matanya berkaca-kaca. Kilasan masa lalu itu membuatnya seperti orang gila. Kini Vanilla takut dengan dirinya sendiri. Vanilla takut jika masa lalu yang baru saja mampi di pikirannya benar, maka Vanilla harus menghilang sebelum ia kembali menggila. Karena ternyata di masa lalu, Vanilla adalah...

Seorang pembunuh.

*****


Selasa, 24 Desember 2019

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant