2.Takdir yang tak bisa kuhakimi

7.3K 602 7
                                    


Kalian vote keberapa nihhhh?

Happy reading uri readersdeul

.

.

.

Malam ini keluarga calon suaminya akan datang.

Eh? Calon suaminya ya? Raisya terkekeh pelan, menyunggingkan ujung bibirnya tersenyum getir. Ibunya tengah menyiapkan pakaian untuk Raisya kenakan.

Raisya tengah duduk di depan cermin, melihat pantulan dirinya sendiri yang harus seperti ini memang terasa menyakitkan.

Tok.. Tok.. Tok

Pintu diketuk dan ibunya masuk sambil tersenyum cerah. Raisya hanya memasang wajah datarnya.

Sang ibu menghampirinya dan menggenggam tangan putri semata wayangnya. Mencoba memberi kekuatan pada anak gadisnya.

Sedangkan Raisya? Gadis itu hanya bisa diam, menuruti kehendak kedua orangtuanya tanpa bisa melawan jika tidak ingin dicap menjadi anak durhaka. Lagipula bukankah ini yang selalu para kalangan pebisnis lakukan agar menambah relasi bisnis? Mengorbankan anak-anak mereka agar jalinan antar dua perusahaan yang saling menguntungkan itu kiat mengerat.

"Ayo sayang, kita harus turun. Mereka sudah datang." Ibunya berkata lembut sambil menggenggam tangan Raisya. Ibu jarinya mengelus punggung Raisya lembut.

Raisya menghela napas kasar dan menghembuskannya. Berjalan gontai seperti manusia kehilangan semangat hidup.

Dia hampir saja sampai di ruang tamu namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok seseorang yang penampilannya sedikit aneh dari biasanya. Raisya menolehkan kepalanya kearah ibunya dengan kernyitan di dahinya bingung "Bu? Itu idol korea? Ko pake anting segala si? Dia mau lamaran atau mau konser di dalam rumah? " sarkas Raisya yang ditanggapi pukulan kecil pada tangannya.

"Kamu ini ngawur! udah kita gabung aja sama mereka. Nanti kamu juga paham sendiri, " ucap ibunya dan mereka kembali melangkah kearah mereka.

Tatapan semua orang sekarang tengah terfokus pada Raisya dan ibunya membuat Raisya yang tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, menundukkan kepalanya menatap lantai marmer berwarna cream padahal tidak ada apa-apa disana.

"Raisya, duduk nak." kali ini ayahnya yang memberikan instruksi untuk Raisya. Menyuruhnya duduk disamping pria yang Raisya bilang aneh tadi dengan matanya.

Raisya mengangguk samar lalu berjalan kearah sofa yang ayahnya tunjuk. Mendudukkan bokongnya di sana dengan tangan yang bertaut di depan tubuhnya.

Sedangkan si pria hanya mampu tersenyum, tak menyangka jika gadisnya akan tumbuh secantik ini. Dan terlihat lebih cantik daripada pantauannya yang hanya bisa dia lihat dengan media komputer atau ponselnya saja.

"Baiklah, Raka. Maafkan keegoisanku untuk meminang putrimu yang memang masih sangat belia. Tapi, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk Jimin putra semata wayangku. Aku tidak bisa membiarkan dia dengan bebas memilih wanita yang tidak baik.

Kau mengerti bukan pergaulan anak zaman sekarang sangat memprihatinkan?" ayah Raisya mengangguk membenarkan "...dan maka dari itu aku memilih putrimu untuk putraku. Selain itu, aku juga ingin Jimin bisa lebih bertanggung jawab jika ada orang lain yang tinggal bersamanya. Tak perlu tergesa, setelah menikah kalian bisa saling mengenal terlebih dahulu," sambungnya.

Raisya hanya diam mendengar penuturan seorang laki-laki paruh baya yang Raisya yakini adalah ayah dari pria disampingnya yang bernama Jimin ini.

 "Aku mengerti, lagipula akupun takut jika Raisya terbawa dengan pergaulan bebas. Aku menyetujuinya." Kata-kata itu sontak membuat mata Raisya tertutup rapat menahan sesak yang menjalar hingga keubun-ubun.

Dia mencengkram ujung celananya kuat, menahan napasnya berharap dapat membantu untuk meredam amarahnya.

"Baiklah, untuk pendidikan Raisya, Jimin sendiri yang akan mengurusnya. Raisya bisa langsung membicarakan pendidikanmu pada Jimin, sayang," ucap ayah Jimin yang membuat mau tak mau Raisya menoleh kearahnya dengan senyuman yang dipaksakan lalu mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Baiklah, kapan kita akan menyelenggarakan pernikahannya? "

Deg!

Pernikahan ya?

Haruskan secepat ini?

"Lebih cepat lebih baik, bagaimana jika minggu depan? " tanya ayah Raisya. Raisya hanya diam dan menunduk, hatinya tengah berkecamuk menahan semuanya.

"Ide yang bagus, mari kita persiapkan semuanya, "

.

.

.

Jimin dan Raisya tengah duduk disisi kolam renang belakang rumah Raisya. Suasana canggung yang tercipta karena  sejak dua belas menit yang lalu tidak ada yang menimbulkan suara apapun. Raisya yang sibuk dengan pemikirannya dan Jimin yang bingung ingin bicara apa.

Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian, Jimin memilih memulai percakapan untuk memecah keheningan.

 "Raisya-ssi? Kau bisa bahasa Korea? " tanya Jimin dengan bahasa Indonesianya yang terdengar aneh oleh Raisya. Raisya menolehkan kepalanya sekilas sebelum kembali mengalihkannya "Iya, aku bisa. "

Jimin menghembuskan nafasnya tenang, setidaknya dia tidak perlu mempelajari bahasa Indonesia dengan pekerjaannya yang menumpuk.

"Kau tidak keberatan dengan ini?, " Jimin kembali membuka suaranya. Pertanyaannya kali ini sukses membuat gejolak emosi yang ada dalam diri Raisya melonjak. Tapi, sebisa mungkin Raisya menyikapinya dengan tenang.

Dia menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan yang di cetuskan oleh Jimin "Aku bisa apa? Jikapun aku menolak dan meraung tidak ingin, tidak akan ada yang berubah, " ucapnya ringan seakan tidak ada beban yang dipikulnya.

Jimin menghembuskan napasnya, "Kuharap kau mau menjalaninya denganku," ucapnya lirih kelewat tenang. Jimin menautkan tangannya dan sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan yang ditopang oleh kedua siku tangannya diatas paha.

"Aku harap kau bisa menerima semuanya. Ayo kita buat keluarga kecil yang bahagia." Kali ini Jimin tulus dengan perkataanya membuat Raisya membatu tidak tau apa yang harus dia lakukan.

"Bukankah sebuah pernikahan harus dilansi oleh Cinta?," kali ini Raisya mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk dipikirannya.

"Ayo mencoba saling mencintai, kurasa seiring berjalannya waktu, kita bisa saling menerima ini semua." Jimin berusaha untuk meyakinkan Raisya. Tanpa mencobapun Jimin sudah mencintai Raisya.

Raisya menghembuskan nafasnya pasrah, entah apa yang akan terjadi setelah ini. "Akan aku coba, tapi bagaimana dengan sekolahku? " tanya Raisya.

"Kau tau? Aku berinisiatif memasukkanmu kedalam sekolah kesehatan? Apa kau mau?" tanya Jimin berusaha mengalihkan pembicaraan berat itu.

Raisya menoleh pada Jimin, jika ini membahas masalah pendidikannya bukankah sudah sewajarnya jika ada rasa antusias? "Memang ada? " tanya Raisya yang dibalas anggukan semangat dari Jimin. Setidaknya Raisya menunjukkan respons positif.

"Letaknya hanya terpaut lima gedung sebelum gedung kantorku."

Raisya mengernyitkan keningnya, apa pria disampingnya ini sudah bekerja? "Maaf sebelumnya, apa kau sudah bekerja?."

Jimin tersenyum dan mengangguk perlahan "Aku memiliki sebuah perusahaan yang bergelut dibidang properti dan peralatan rumah tangga. Aku juga menanam saham di beberapa rumah sakit dan perhotelan."

Raisya mendadak terkejut "Serius? Berapa usiamu? " tanya Raisya yang tiba-tiba menjadi penasaran dengan identitas Jimin.

"Aku berusia 24 tahun kita selisih 8 tahun." Jimin terkekeh melihat Raisya yang membelalakkan matanya tak percaya. Benarkah Jimin setua itu? Maksud Raisya, Jimin itu sudah lebih dewasa dibanding ia yang masih remaja. Tapi kenapa wajahnya membohongi semua orang.

"Jadi aku harus memanggilmu oppa? " tanya Raisya yang membuat Jimin tersenyum entah karena apa. Padahal tidak ada yang aneh dalam kata-kata Raisya.

"Jika kau mau, kau bisa melakukannya. Terserah padamu," ucap Jimin memberikan kebebasan untuk Raisya. Bukankah anak SMA memang tidak terlalu suka diatur?

DREAMS ✴PJM✔Where stories live. Discover now