21 - Biar Astronot Pada Ngopi di Bulan

Start from the beginning
                                    

"Jadi bener, Om? Si Asti waktu itu pernah cerita sih."

APA? Menoleh lagi ke si Asti setelah duduk, dia tambah merasa bersalah. Dasar karyawan penyebar aib! Tak mau merambat lebih jauh saya putuskan untuk tidak membahasnya lagi. Hufft!

Teringat akan pertanyaan di bengkel, coba saya tanyakan ke mereka seteleah menyuruh duduk. "Apa cita-cita kalian waktu kecil?"

"Asti pengin jadi perawat."

"Aku mau jadi TNI."

"Usaha apa yang udah kalian lakuin buat itu?

Si Asti menatap teman kerjanya. "Kalau Asti nggak dibolehin, sekolah keperawatan kan mahal. Belum lagi biaya hidup."

"Aku nggak dibolehin Bapak. Jadinya kuliah biasa aja."

Jawaban mereka sudah menjelaskan bahwa bukan berasal dari keluarga yang memiliki privilage, keinginan mereka mau yang terbaik tapi kenyataannya memaksa untuk menjadi manusia yang sama. Saya hanya bisa tersenyum melihatnya, dulu juga saya kuliah ilmu komunikasi dan berakhir membuat kedai yang disebut warung kopi.

"Kalau Om dulu cita-citanya jadi apa?"

"Jadi astronot."

"Kenapa?"

"Biar bisa buka warung di luar angkasa. Biar astronot pada ngopi di bulan."

Mereka tertawa. "Bisa gitu? Emang bakal ada yang beli?"

"Ada, nanti bintang yang beli. Terus kesedot black hole, hilang deh."

"Belinya pakai apa? Di luar angkasa emang ada bank Om?

Kelakuan dua karyawan saya memang begitu, sudah tahu bercanda malah selalu memancing untuk menjawab dengan jawaban bodoh. Pantaslah orang-orang mengira saya gila kalau terus-terusan berbicara dengan mereka. Untungnya saya berkarisma, tidak mungkin ada yang bilang gila.

"Dasar Gila!"

Hah?

Hufft! Kirain ke saya ternyata ke si Asti.

"Kan gue nanya, Yan. Jadi cita-cita Om yang sebenernya itu apa?"

"Mau jadi ayam geprek aja." Berdiri buat masuk ke dapur, rasanya mau piscok siang-siang begini. Dari jauh si Asti menyahut tak percaya. Stok piscok masih banyak, ambil tiga dan kembali lagi sambil ngasih satu-satu buat karyawan. Bukan buat Ibu.

"Nanti meninggal, Om."

"Tapi enak dan hot. Saya kan hot tuh." Sembari bergaya ala majalah ELLE atau Calvin Klein. "Udah ah jangan kepo cita-cita saya."

"Ada apa ini teh ribut-ribut?" tanya seorang Ibu. Tenryata Ibu bubur dengan tiga bungkusan di tangan. Itu pasti bukan bubur, apa ya? "Ini ketopraknya, Yat."

"Wah ketopraknya udah jadi. Ambil piring Sti." Dia langsung pergi ke dapur, tiba-tiba jadi pengin cepat menyantapnya. Si Asti kembali dengan tiga piring yang langsung diberikan ke saya. "Jadi berapa, Bu?"

"Nggak ushalah, Yat. Kan Ibu juga udah dibolehin makan banyak sama kamu."

"Eits!" Menatap Bu Dara. "Kan Ibu jualan, saya harus beli."

"Ya udah, kalau maksa mah. Dua puluh lima ribu."

"Ini, Bu." Saya asongkan uang seratus ribu ke tangannya, langsung paksa dikepalkan agar tidak diberi kembalian.

"Kebanyakan Yat. Ibu nggak bawa kembalian."

"Buat Ibu aja. Sekalian ongkos jalan ke sini." Dua karyawan saya sudah membuka masing-masing bungkusan. Sepertinya si Rian ke dapur mengambil sendok sebab tadi si Asti hanya membawa piring.

"Ah kamu mah ada-ada aja. Jadi nggak enak."

"Buuuuuu. Beli ketoprak!" Seseorang berteriak dari seberang jalan. Lapak Bu Dara didatangi pembeli lagi. Senang karena laris dagangannya.

"Iya, Bu. Saya ke sana," jawab Bu dara antusias. "Yat, makasih atuh ya. Sok dimakan, kalau mau nambah bilang aja."

"Pasti, Bu."

Seketika Ibu bubur sudah tidak ada di Yang Kusayang. Saya buka bungkusannya, waduh saus kacangnya menggoda untuk cepat disantap. Mereka ikut memakan setelah saya makan duluan. Setelah sekian lama akhirnya merasakan nikmatnya ketoprak lagi. Waktu di Mandalasari tidak ada yang menjual, kalau cilor sama kerak telor masih ada di sana.

"Bang Diyat! Mereka mau jajan di sini katanya." Rehan datang membawa rombongan anak seusianya. Saya curiga anak Bu Dara itu merupaakan anak tongkrongan sampai membawa banyak orang, ada sepuluh anak kira-kira.

Kaget, saya berdiri mengulas senyum. Akhirnya tinggal beberapa orang lagi agar bisa ada ceklis di buku besar. Saya menggiring mereka untuk duduk di meja yang kosong lalu menggabungkan dua meja menjadi satu agar muat untuk bersepuluh. "Bang Diyat traktir piscok, deh, buat kalian. Asal jajan di sini."

"Asiik." Ngomong-ngomong tidak ada anak perempuan di sana, tapi yang berbadan gemuk pasti ada. Bingung kenapa di setiap tongkrongan selalu ada yang tubuhnya subur. "Beli seblak ya, Bang."

"Semuanya?"

"Iya. Minumnya teh manis aja." Keren banget ada pemimpinnya yang berani ngomong. Bagus biar tidak banyak yang kebingungan kalau diarahkan.

"Sti, ada BTS lagi nih mau beli perempuan hitam."

"Hah?"

"English version. She-black is perempuan hitam right?"

Si Rian sampai mengeluarkan ketoprak dari mulutnya, buruknya lagi sambal kacang keluar dari lubang hidung dia. Si Asti menyemburkan sisa ketoprak dalam mulut nggak tahu kenapa. Emang perkataan saya salah?

"Terserah Om, deh. Asti emosi lama-lama." Dia mengambil tisu untuk memgelap mulutnya. "Lagian mana ada BTS 10 orang. Pentagon kali." Dia mentertawai ketidaktahuan saya soal k-pop. Mana saya tahu saya kan ikan cupang---bikin juga bisa. Kalau ada di beranda youtube baru nonton, gitu aja.

"Tunggu bentaran guys. Biar dimasak dulu," pekiknya langsung masuk dapur.

Saya mau membantu si Asti ke belakang membuat perempuan hitam, untung sudah belanja bahan. Si Rian membuat teh manis di depan biar mereka tidak kehausan. Saya bagian memotong bahan dan si Asti yang memasak buat disajikan.

Piscok sebelumnya dicek, masih bisalah buat diberikan secara cuma-cuma ke sepuluh anak tadi. Katanya semakin banyak memberi semakin banyak juga yang kita dapatkan. Biar pahala amal saya banyak, biar masuk surga.

"Sti, kira-kira warga Mandalasari suka seblak kita nggak ya nanti?"

"Suka bang. Kasih aja free wifi kalau nggak suka, pasti suka deh mereka."

"Yang gratisan memang selalu menyenangkan ya, Sti."

"Iyalah. Eh tapi Asti takut digodain cowok kalau banyak yang nongkrong."

"Pede banget kamu. Digodain si Rian paling."

"Om, kayaknya si Rian suka sama Asti, deh."

"Oh ya?"

"Iya. Buktinya dia suka lihat Asti kalau lagi ngomong berdua."

Saya menelan ludah memberi tampang malas. "Masa ngobrol berdua harus merem, Sti. Udah ah kerja lagi. Ada-ada saja."

-= EKSPEDISI WARUNG KOPI =-

Siapa yang emosi?

Siapa yang suka sheblack?

Author suka perempuan hitam, di sini enak-enak banget. Nggak ngerti lagi.

Komen yang banyak atau Om Yati ngambek!

Ekspedisi Warung KopiOn viuen les histories. Descobreix ara