peguntur

1K 105 0
                                    

Kerajaan Muntai

Seluruh pembesar istana berkumpul di aula utama. Timanggong, abdi negara dan patih berkumpul di depan singgasana Peguntur. Mereka saling melihat satu sama lain untuk bertanya-tanya apa yang akan peguntur titahkan. Salah satu timanggong tak kuasa bercucur keringat dengan apa yang akan terjadi. Sebab, raja kerajaan Muntai selalu memberi keputusan yang selalu menyusahkan masyarakat.

Salah satunya adalah menaikkan upeti di setiap tahunnya. Upeti yang diminta tak tanggung-tanggung, yaitu berupa dua peti emas dan perak. Membuat suku dayak kecil semakin sengsara dan kelaparan tak dapat dihindarkan.

Peguntur memasuki aula istana, rambutnya yang hampir semuanya putih tertutup oleh mahkota ruai dan tinggang. Dia berjalan perlahan dengan menggunakan tongkat kayu jati bermotif ukiran khas dayak. Jelas bahwa dia terlalu tua dalam memimpin sebuah negeri. Akan tetapi ambisinya yang menggebu membuat dia masih tetap berdiri diatas singgasana raja.

Segera setelah Peguntur duduk di atas singgasana raja, para pembesar besimpuh hormat kepadanya. Dia mengangkat tangannya sebagai salam kepada para hadirin.

"apa kalian mengetahui apa tujuanku mengumpulkan kalian disini?" Peguntur bertanya kepada para hadirin.

Para hadirin melirik satu sama lain, mereka bertanya kepada diri mereka sendiri. Sebab, jawaban yang tak memuaskan sang raja bisa saja menjadi sebuah hukuman mati bagi mereka.

"mohon ampun baginda raja, menurut hamba pertemuan kali ini akan membahas upeti kerajaan Muntai," jawab salah seorang hadirin, yang merupakan seorang patih.

Peguntur menyunggingkan senyumnya, "kau sungguh pintar, Batoa."

Batoa tersenyum mendengar pujian Peguntur. Sedangkan para hadirin tampak menciut dengan tebakan Batoa yang dibenarkan oleh Peguntur.

"Seperti apa yang patih Batoa katakan, pertemuan kali ini akan membahas upeti yang diberikan kepada kerajaan Muntai. Upeti pada tahun ini adalah tiga peti emas."

Mendengar pernyataan Peguntur membuat para hadirin bergemuruh seisi istana. Permintaan tak masuk akal Peguntur membuat seluruh timanggong yang hadir berkeringat dingin. Bagaimana tidak, di saat banyak rakyat mereka yang kelaparan, mereka harus membayar upeti ssebanyak itu.

Peguntur mengangkat tanganya ke atas, membuat gemuruh para hadirin terdiam seketika. "baiklah, jika kalian keberatan dengan upeti yang aku ajukan. Maka, kalian bisa menggantinya dengan lima peti perak,"

Keputusan itu jelas membuat para timanggong dan para hadirin saling melirik. Bukankah itu sama saja, tiga peti emas dengan lima peti perak? Bisik salah seorang timanggong. Mereka tak punya nyali untuk menawar kepada Peguntur hingga salah seorang diantara mereka maju di hadapan Peguntur sambil bersimpuh dengan wajah lusuh

"ampun baginda raja, banyak rakyat kami yang kelaparan. Kami sangat kekurangan, bahkan untuk menghidupi diri kami sendiri. Oleh karena itu, sudikah baginda raja, jika hamba memberi upeti sebesar tiga peti perak?"

Peguntur menyeringai melihat sikap timanggong yang memohon belas kasihnya. Dia adalah satu-satunya timanggong yang memohon kepada Peguntur disaat para pemimpin desa lainnya hanya begidik setelah mendengar putusan perihal upeti.

"Kau sungguh tak tahu diri, timanggong." Kata Peguntur sembari memegang gagang mandau miliknya. "Lalu, jadilah hina dengan menjadi budak di wilayah Rengkang."

Timanggong itu masih menunduk tak kuasa menatap Peguntur. "Ampun, baginda raja. Untuk menjadi budak-pun hanya sebagian kecil dari kami. Kami saling berbagi satu sama lain yang kelaparan."

Peguntur memutar bola matanya, dia sama sekali tak tertarik dengan arah pembicaraan timanggong, "kalau begitu, matilah." Dengan cepat Peguntur melayangkan mandau ke arah timanggong hingga kepalanya jatuh menggelinding di depan Peguntur.

Hadirin berteriak histeris melihat kematian timanggong yang berusaha menawar sebuah putusan raja Muntai. Kebenaran itu mereka buktikan dengan mata kepala mereka sendiri, siapa yang membuat pernyataan yang tidak memuaskan Peguntur, akan berujung pada kematian.

Peguntur bangkit dari singgasananya dan berjalan menghampiri jasad timanggong yang sudah tak berdaya. Seketika para hadirin bersimpuh, badan mereka gemetar tak kuasa menahan rasa takut kepada sang raja.

Peguntur memegang rambut timanggong lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, "dia lebih memilih mati ditanganku daripada hidup berusaha untukku." Lalu melemparkan kepala timanggong itu.

"Simpei," panggil Peguntur kepada seorang pengawal kerajaan. "Jadikan rakyat timanggong itu sebagai budak di Rengkang. Jika tidak bisa, bunuh mereka,"

"Titah yang mulia hamba laksanakan," tunduk Simpei kepada Peguntur.

Peguntur lalu meninggalkan aula istana tanpa sepatah kata. Membuat suasana hadirin hening seketika melihat jasad timanggong tergeletak begitu saja.

Peguntur berjalan menyusuri istana untuk kembali ke kediamannya. Wajahnya berubah menjadi sumringah ketika seorang pemuda menunduk menyambut kedatanganya.

"PangeranSentarum," sapa Peguntur kepada anak semata wayangnya.


timanggong = Tumenggung

The Heart Of KapuasWhere stories live. Discover now