Delapan-Lelucon yang Menjadi Nyata

87 15 25
                                    

Panas dan gatal. Seluruh tubuhku terasa aneh, dan lebih aneh lagi karena aku tidak bisa melakukan semua hal yang kuingin. Aku menatap Mama dan Papa bergantian. Mereka menggenggam jari tanganku dengan kuat, membisikkan beberapa potong doa di samping telinga.

"Hentikan!" jeritku ketika tubuh ini semakin terasa panas.

"Letta kamu harus melawannya, Nak!" ucap Mama dengan isak tangis.

"Tidak, Ma. Aletta sulit untuk melawannya." Tentu saja Mama tidak akan mendengarnya karena kalimat itu tidak pernah lolos dari mulutku, sebab saat ini aku sedang dikendalikan oleh makhluk lain. Aku ingin sekali mengumpat dalam hati dan memaki sosok apa pun yang sedang mengendalikan ragaku. Namun itu sangat sulit untuk dilakukan dalam keadaan seperti ini.

"hhhrrghhhhhhh ... kamu harus mati, Farid!" Kalimat itu lolos dari mulutku begitu saja. Kalimat yang sama sekali bukan berasal dari keinginanku, dan entah mengapa sangat sulit bagiku menolak untuk mengatakannya.

Sedetik kemudian, Papa meninggalkanku dengan menempelkan ponsel pada telinganya, sepertinya Papa sedang memanggil seorang ustaz untuk datang.

"Aletta, dengarkan Papa ... kamu harus melawannya, Nak!" ucap Papa setelah selesai menelepon.

Aku menatap kedua matanya yang mulai memerah. Bagaimana perasaan kedua orang tuamu jika melihat putri semata wayangnya sedang seperti ini. Aku seperti orang yang sekarat. Tubuhku tidak berhenti mengejang. Mataku terus-terusan mendelik, aku menyadarinya. Sedangkan jiwaku seperti sedang terkurung di dalam ruangan terkecil dalam ragaku sendiri. Aku hanya bisa menonton semua kejadiannya dari dalam raga, tetapi tiak bisa mengendalikannya sebab ada mahkluk lain yang menguasai tubuhku.

Sedetik kemudian, aku berhasil berdiri-tentu bukan kemauanku, menari seperti penari lenong, luwes, dan sangat gemulai. Rambutku telah terurai sepenuhnya, keringat dingin pun telah membasahi punggung. "Farid ... kamu harus mati!" ucapku dengan suara menggema.

"Keluarlah wahai makhluk terkutuk!" ucap seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba putih di hadapanku.

Aku terkekeh, suara yang terdengar sedikit nyaring. Dalam batin, aku benar-benar mengumpat agar makhluk ini segera keluar dari tubuhku, tetapi aku tidak bisa banyak berbuat selain mencoba untuk mengingat doa-doa yang pernah Papa ajarkan padaku semasa kecil.

"Aku mau Farid mati bersamaku!"

"Kamu berbeda alam, dan tidak akan bisa membawa orang yang masih hidup untuk mati bersamamu tanpa seizin Tuhan," jawab laki-laki itu dengan tegas.

Mendengar perkataannya, sosok dalam tubuhku menjadi murka. Dia membuat tubuhku memberontak. Aku segera berdiri dan hendak berlari, tetapi kakiku tercekal oleh kedua tangan sang ustaz, kemudian aku ambruk.

Aku merasakan sedikit benturan yang lumayan kuat pada tubuh bagian kanan. "Aku lelah, Ma, Pa," ucapku dalam batin. Ya, mulutku tidak bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan, sebaliknya, mulut ini malah mengeluarkan kalimat-kalimat tak senonoh yang makhluk ini inginkan.

"Diam dan keluar atau aku akan membakarmu di dalam!" gertak sang ustaz.

Tubuhku memanas ketika jemari sang ustaz menyentuh ubun-ubun. Rapalan doa terus dikumandangkannya. Percikan-percikan air putih membasahi wajahku, ada rasa sesak pada hatiku. "Ma, to ... long," ucapku terbata-bata, setengah sadar.

"Sabar, Sayang. Kami akan membantumu," jawab Mama sembari mencengkeram lenganku. Tidak lama kemudian, aku mulai bisa mengeluarkan suara, sekadar memanggil Mama atau pun Papa. Mulutku memang masih terasa kaku untuk digerakkan, seperti ada perlawanan dari dalam tubuhku sendiri.

Doa-doa dari sang ustaz membuat tubuhku terus merasa panas dan perih. Namun, dari doa-doanya itulah aku berhasil melawan sosok dalam tubuhku, yang kuketahui sebagai perempuan penari lenong. Dia menjerit menggunakan mulutku, suaranya nyaris memekakkan telinga. Bersamaan dengan jeritannya itu, ia pun pergi meninggalkan ragaku.

Asrama Hagers (TERBIT)-Sebagian Bab Dihapus.Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ