Lima-Mimpi Buruk

134 21 93
                                    

Gelap. Hening.

Kemudian pelan-pelan aku membuka mata. Semuanya tampak buram, seolah aku sedang mengenakan kacamata milik orang lain. Mungkin aku terlalu lama tertidur, atau juga bukan. Kedua tanganku meraba-raba. Lembap. Aku sadar sedang duduk di atas lantai-bukan rumahku.

"Mama?"

Tidak ada jawaban. Benar, kan, ini memang bukan rumahku. Ada lendir di telapak tanganku. Aku menengadah, tidak ada apa pun di langit-langit ruangan. Sepertinya lendir ini berasal dari sela-sela keramik. Cairan kental berwarna kuning kecokelatan ini berbau amis dan sangat lengket melebihi nanah. Ruangan ini terlihat kumuh.

Aku ingin berdiri, tetapi kakiku menyenggol sesuatu. Benda pejal yang terasa dingin. Aku melirik. Lengan! Sontak aku berteriak. Tidak ada garis polisi yang membentang dalam ruangan ini-jelas bukan potongan lengan milik korban mutilasi. Aku segera berdiri, berjalan tersuruk-suruk untuk meninggalkan ruangan.

Ruangan ini sekilas tampak seperti sebuah bangunan yang habis terbakar. Sesekali juga mirip seperti bangunan yang tidak berpenghuni dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga menjadi sangat kumuh.

"Aletta Rasya ...." Suara itu menggema.

"Nurita?" jawabku sambil menoleh-karena hanya dia yang menyebutkan namaku dengan lengkap.

Dan sepertinya aku salah menduga, dia bukan Nurita. Wanita itu duduk membelakangiku di kursi goyang yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah melihatnya, aku jadi tidak yakin di mana keberadaanku sekarang, yang jelas ini bukan rumahku.

"Kamu cantik sekali, Letta," ucapnya lirih sambil memutarkan kepalanya, sedangkan badannya tidak bergerak sedikit pun. Ia menatapku tajam lalu menyeringai hebat, menampakkan baris giginya yang tidak tertata rapi. Mulutnya menganga lebar, daging lidahnya berwarna putih kebiru-biruan dan terlihat sedikit terkoyak.

"Siapa kamu?" tanyaku padanya, karena aku yakin tidak pernah melihatnya sebelum ini.

Hening sesaat. Suara decitan kayu yang sudah lapuk terdengar tajam.

Mataku masih menatap ke arah wanita yang memamerkan giginya yang sudah berwarna cokelat kehitaman. Ia masih duduk di kursi bambu yang setiap detiknya terus mengeluarkan suara decitan. Dengan gerakan yang gemulai ia mengayunkan sepasang kakinya. Sesekali menciumi rambut panjangnya yang terurai. Tatapan matanya sendu, mirip seperti milik Eyang Inggar.

"Siapa kamu?" tanyaku kembali, dengan kaki yang sudah sepenuhnya bergetar. Dia tetap bungkam, sepertinya memang sengaja ingin membuatku terus bertanya-tanya.

Kami berada dalam satu ruangan yang sama. Ruang kecil yang didesain seperti sebuah kamar kuno. Setiap sudutnya terletak patung-patung berbentuk manusia purba. Sebuah kaca panjang juga terpasang menggantung di antara lemari dan rak buku. Sebuah kasur yang tidak terlalu tebal, dan selimut belang berwarna hitam putih-seperti selimut khas rumah sakit, tertata rapi di atas ranjang.

Bukan sekadar aneh, atau memang aku yang tidak menyadarinya. Sebelumnya aku tidak melihat benda-benda tersebut berada di dalam ruangan. Yang kuingat hanya rembesan lendir yang keluar dari sela-sela keramik. Dan, lebih anehnya lagi, sekarang lendir itu seperti tersapu air, bersih, tanpa tersisa sedikit pun di lantai. Termasuk potongan lengan yang sebelumnya tidak sengaja tersenggol.

"Aletta, kemarilah, Nak!" Wanita itu menyeringai.

"Siapa kamu?" Ingin sekali aku mengutuknya dengan sumpah serapah ketika lagi-lagi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia tetap bergeming dari kursi kayu. Yang lebih menyebalkannya lagi, gaun berwarna maroon yang ia kenakan membuat pandanganku sedikit terganggu, silau. Padahal lampu dalam ruangan ini sangat redup.

Beberapa menit kemudian lampu ruangan terus berkedip, seperti akan putus. "Biarlah selama masih bisa melihat wanita itu dengan jelas," pikirku. Namun, lagi-lagi gerakannya yang tiba-tiba dan sangat cepat membuatku hampir tersedak, dia menghilang dari pandangan. Padahal aku tidak melihatnya beranjak dari kursi goyang. Jadi mana mungkin dia pergi melalui pintu yang berada tepat di belakangku.

Ruangan ini semakin gelap dan pengap. Kakiku kembali merasakan sensasi dingin dan sedikit lembap. Lendir? Oh God! Aku mendengus kesal dan terus menggerutu ketika tiba-tiba kakiku kembali dipenuhi lendir.

Seperti ada yang mempermainkan kehidupanku saat ini. Sial!

Aku tidak mendapati sebuah pintu di belakang tubuhku lagi. Padahal, aku sangat yakin melihatnya berdiri kokoh sebelum sosok wanita itu pergi. Sekarang, dunia seolah sedang mengunciku di dalam ruangan ini. Perubahan situasi dalam ruangan ini sangat signifikan. Dimulai dengan ada-tiadanya lendir di sekitarku. Belum lagi dengan hilangnya pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan bangunan luar. Namun, mana mungkin kejadiannya bisa begitu? Kepalaku mulai terasa berat hanya memikirkan hal konyol seperti ini. Kejadian yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Mama ...!"

"Aletta Rasya ... Letta, bangunlah tolong!"

Aku tidak mendengar jawaban dari mama melainkan suara Nurita, tapi tidak mungkin ia bersamaku di dalam ruangan gelap ini. Atau jangan-jangan ini adalah tipu dayanya lagi? Sosok itu, dia yang merupa seorang wanita bergaun merah maroon.

"Aletta, please sadarlah!" Suara itu memenuhi gendang telingaku. Berulang kali aku mendengarnya, tetapi aku masih tidak bisa membedakan apakah yang barusan kudengar ini mimpi atau memang nyata.

"Nurita ...," panggilku.

Tidak ada jawaban, tapi aku merasakan sebuah sentuhan pada lenganku. Dadaku terasa memanas, aromaterapi mulai tercium. Aku seperti mendapatkan jalan untuk kembali. Pandangaku tertuju pada sebuah pintu kecil yang berada di seberangku. Ya, pintu itu memang berpindah. Tidak mengapa, aku masih bisa berjalan untuk menggapainya.

"Aletta Rasya ...."

"Aletta ...."

Suara itu terus menuntunku untuk berjalan. Suara yang setiap detiknya semakin menggema. Dan, aku yakin dia adalah Nurita. Embusan angin terasa begitu menusuk kulit. Semakin aku mendekati pintu, aromaterapi yang tercium sebelumnya pun mulai menghilang, tergantikan dengan bau busuk yang kian menyengat. Di sana, tepat di sisi kanan pintu, sosok wanita berambut panjang dan bergaun merah maroon itu datang lagi-sepertinya memang menantiku. Namun, aku terus mendengarkan mereka yang menyuarakan namaku.

"Aletta, pulanglah! Sadarlah, Letta ...."

***

(B.e.r.s.a.m.b.u.n.g)

Asrama Hagers (TERBIT)-Sebagian Bab Dihapus.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt