Dua-Jawaban

225 34 51
                                    

Satu jam kemudian, Nurita sepertinya sudah menyiapkan banyak pertanyaan untuk mencecarku.

Mereka semua sudah menungguku di dalam kamar. Ya, siapa lagi kalau bukan Nurita yang menjadi pelopornya. Sahabatku yang satu itu memang selalu punya kebiasaan unik, termasuk sekarang ini. Dia berdiri di tengah kerumunan teman-teman yang lainnya. Menatapku dengan mata sipitnya, yang meski dipaksa berjam-jam lamanya tidak akan pernah berubah menjadi tatapan yang tajam.

"Eyang Inggar ngomong apaan sih, Lett?" Nurita mulai membuka konferensi pers-nya.

"Tunggu! Jangan-jangan kamu dikeluarin dari asrama, ya?" lanjut Feira menduga-duga.

"Hush, jangan bicara sembarangan. Biarkan Aletta yang menceritakannya," jawab Keren, menyudahi dugaan Feira yang belum pasti kebenarannya.

Ya, Keren memang benar. Lebih baik mendengarkan penjelaskanku lebih dulu, ketimbang menduga-duga jawabannya sendiri. Namun, ini akan menjadi mimpi buruk, jika aku menceritakan yang sesungguhnya pada mereka. Bisa dipastikan, dalam waktu satu minggu, ceritaku ini pasti akan menyebar ke seluruh penjuru asrama.

"Kalian mau tahu banget, ya? Oke! Tapi aku nggak bisa cerita sekarang," jawabku menengahi keributan yang mereka buat, dengan wajah lesu.

"Kenapa, Lett? Bener-bener masalah yang serius?" Feira semakin tidak sabar. Gadis itu punya tingkat penasaran yang sangat tinggi. Dan untuk lolos dari pertanyaan-pertanyaannya itu, aku butuh Nurita untuk mengusirnya perlahan.

"Ya sudah, sana kalian balik ke kamar masing-masing! Biar aku yang nemenin Aletta," sambung Nurita sambil tersenyum licik, setelah kukedipkan mata padanya.

Mereka mencoba mengerti keadaanku setelah mendengarkan instruksi Nurita. Sekarang hanya tersisa kami berdua di dalam kamar. Nurita memang sangat bisa mengatur suasana menjadi lebih baik, termasuk membuat mereka membubarkan diri, meski dengan wajah tertekuk.

"Nanti aku bagi ceritanya, kok," ucap Nurita setengah berteriak. Ia terkekeh, merasa menang karena berhasil menguasai situasi.

Hening beberapa saat. Suasana kamarku menjadi benar-benar sepi setelah mereka kembali ke kamar masing-masing. Entah persepsi apa yang sedang mereka bawa dalam pikirannya masing-masing. Yang jelas aku sedang tidak tertarik untuk memikirkan apa yang sedang mereka coba pikirkan sekarang.

Di hadapanku, Nurita sedang melihatku dengan tatapan berisi penuh tanda tanya. Namun, wajahnya terlihat menahan rasa tak enak padaku. Aku tahu apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dia ingin mencoba menenangkanku, tapi masalahnya adalah, dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padaku. Sayangnya, aku terlanjur mengetahui keinginannya.

"Aku baik-baik aja, Rit," ucapku mencoba menyembunyikan kecemasan.

"Aku tahu kamu banget. Selama ini kita, kan, udah saling tahu ... jadi kenapa mesti ditutup-tutupi?" jawabnya pelan sambil mengelus bahuku.

Nurita benar, kami memang sudah sepakat untuk saling berbagi, suka atau pun duka. Dan kupikir, menceritakan satu rahasia ini padanya bukanlah hal yang salah.

"Eyang Inggar bilang ...," ucapku lirih, "ada sosok yang menginginkanku."

"Maksudnya?" Nurita mendelik mendengar ucapanku. Dia menggenggam tanganku, mencoba membuatku lebih tenang meski dirinya sendiri sama sekali tidak tenang.

"Aku enggak tahu, satu jam aku di sana ... cuma kalimat itu yang Eyang katakan," jelasku. Mataku mulai berkaca-kaca. Perasaanku sedang campur aduk sekarang. Panik dan ingin marah. Sampai tidak tahu perasaan yang mana dulu yang harus kuekspresikan di hadapan Nurita.

"Lett, kamu nggak mau pulang kampung aja?"

"Enggak perlu, Rit."
Aku tahu alasan Nurita menanyakan hal itu padaku. Ya, perasaanku memang sedang tidak karuan setelah bertemu Eyang Inggar satu jam yang lalu. Dan sayangnya, jawaban dari Eyang sama sekali tidak bisa kutafsirkan sendiri, pun dengan Nurita.

Asrama Hagers (TERBIT)-Sebagian Bab Dihapus.Where stories live. Discover now