Laki-laki itu menyengir lebar. "Jorok-jorok gini juga kamu sayang, kan?"

"Nggak tuh!" jawabku cepat.

"Bohong."

"Nggak!"

"Masih bohong."

"Nggak, ih!"

"Bohong banget."

Pada akhirnya aku mengaku kalah saat Riki sudah menatapku dengan lekat. Senyum di wajahku akhirnya terbit juga. "Iya-iya, sayang."

Seperti kebiasaanya, Riki mengacak puncak kepalaku yang tertutup jilbab dengan penuh lembut dan perhatian. "Nah, gitu dong."

Belitan lengannya di leherku akhirnya terlepas, berganti menggenggam jariku dengan erat. Sengatan hangat dan nyaman langsung menyergapku. Astatang, aku masih se-alay ini ternyata.

"Tapi, aku sama makanan yang jatuh belum lima menit juga sayang kok. Bukan sama kamu doang. Jadi jangan ge-er!"

Riki terkekeh. Lagi, dia mengacak-acak puncak kepalaku. "Nggak pa-pa, yang penting disayang sama kamu."

Sinetron banget. Tapi aku suka sikap Riki yang seperti itu.

Lagian, siapa sih yang nggak suka sama cowok ganteng yang punya sikap romantis sekaligus humoris? Kalau bukan karena nggak normal, itu pasti karena yang jawab 'nggak' adalah seorang cowok juga.

"Nanti malam kan malam jum'at, Al," ucap Riki tiba-tiba.

"Terus?" Aku menatapnya sekilas dengan heran.

"Ada agenda ngepet-mengepet nggak malam ini? Ingat, Al, biaya nikah itu mahal. Kita harus usaha dari sekarang."

Aku berdecak. "Kamu dong yang usaha. Kamu keliling sana, aku jaga lilin sambil nunggu setoran."

"Yaudah, jaga lilin yang bener. Awas kalau aku sampai ketangkep, aku kutuk kamu jadi perkedel."

"Aku kutuk kamu balik, biar jadi babi panggang saus lada hitam."

Sumpah demi apapun, perbincangan kami berdua membuat kami ditatap aneh oleh murid-murid lain yang mendengarnya.

"Aku kutuk balik. Kan suatu doa akan kembali kepada yang mendoakan." Riki masih tidak mau kalah.

"Jadi babi juga dong aku? Haram dong?"

Kepala laki-laki itu mengangguk. "Iya, makanya mau aku halalin ke KUA."

Bisa-bisanya dia meluncurkan gombalan. "Bisa ae lu, Bambang!" Aku menoyor kepalanya.

"Sakit, Malih!" Riki mengusap kepalanya lalu berganti menoyor kepalaku.

Toyoran Riki hampir saja membuatku terjerembat ke lantai. Beruntungnya seseorang memegangi lenganku agar tidak terjatuh. Saat aku mendongak, aku mendapati sosok wanita yang tidak asing berdiri di hadapanku.

"Kamu nggak pa-apa?" tanyanya lembut.

Aku sempat tersihir dengan suaranya yang mengalun itu. Jika dibandingkan denganku, tentu aku hanyalah sebuah kerupuk pasir yang sudah alot.

"Oh, nggak papa, kok. Maaf ya, Mbak. Pacar saya emang agak KDRT kalau bercanda." Aku menatap Riki dari ujung mata. Laki-laki itu sedang menggaruk kepalanya yang kujamin tidak kutuan apalagi ketombean.

Wanita itu hanya tersenyum ramah menanggapi ucapanku.

Aku teringat, dia adalah wanita yang aku tolong tempo hari itu. Dia adalah wanita yang sama dengan wanita yang hampir ditampar oleh Pak Rafka. Muncul sebersit pertanyaan di benakku. Untuk apa wanita itu kembali datang ke sekolahku?

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang