3. Tutup

13 4 0
                                    

Tuk, tuk, tuk.

Jari itu terus mengetuk tangan kursi yang ia sandari.

Tuk, tuk, tuk.

Menggema dan menggema dalam ruang keluarga hotel mewah yang sengaja dikosongkan. Pemilikinya jelas sedang frustasi, namun alih-alih menghibur, enam pria yang berdiri di depannya justru tampak menjauhi. Yah, reaksi yang akan terlihat dan terdengar wajar setelah mengetahui siapa pemiliknya.

Dia Sege, kepala sindikat kriminal Sege Group. Pria jangkung berkulit cokelat dengan tubuh yang selalu dilapisi jas mengkilat. Wajahnya oval, tirus dengan tengkorak wajah yang jelas. Dan rambutnya pendek, tersisir klimis tak menutupi rasa jenuh dan kesal dari matanya yang kecil.

Tuk, tuk, tuk.

Duduk di satu-satunya kursi dalam ruangan, Sege kembali melirik telepon pada meja kecil di sampingnya. Ia sedang menunggu panggilan. Panggilan yang sudah dijanjikan sejak semalam. Panggilan yang kemudian tak kunjung datang. "Udah lewat berapa lama dari waktu perjanjian?"

Melihat jam di masing-masing tangan, akhirnya hanya salah satu orang yang menjawab, "...Se-setengah jam, Bos."

Ketukan jarinya berhenti karena kepalan. "Kalo tau gini mending gue potong-potong dulu tadi. Sekarang pasti udah selesai. Gue udah mandi, SEMUA UDAH RAPIH!"

Bentakannya menggema di seluruh penjuru ruangan, membuat enam pria di depannya seketika menahan napas mereka dan mengambil beberapa langkah kecil ke belakang. Sudah terlalu banyak kisah kemarahan Sege yang mereka dengar, dan kepala pecah karena bersuara di tengah amarahnya hanyalah salah satu judul dari sekian banyak kisah yang ada.

Menekan rokoknya pada asbak, Sege kemudian beranjak menuju kamar di sisi ruangan. Kamar yang luas—dan seharusnya terlihat mewah, namun saat itu tampak sangat berantakan. Semua barang yang seharusnya ada di ruang keluarga, saat itu tergabung kacau bersama barang-barang yang ada di sana. Sofa, meja kopi, laci kecil, besar, cermin, buku-buku dan beragam barang lainnya, semua tersebar tak beraturan dengan bercak darah pada beberapa bagian. Dan mencolok sendirian di tengah kekacauan itu, adalah tempat tidur besar yang sengaja didirikan bersandar pada dinding ruangan. Dan bukan, benda itu mencolok bukan karena statusnya sebagai barang yang sengaja ditempatkan ditengah kekacauan, melainkan karena seorang pemuda kurus berambut panjang yang terikat di atasnya. Pemuda yang saat itu bertelanjang dada, dan penuh luka kering tubuhnya.

"Ayo, potong sekarang. Bosen gue."

"Dari tadi gue ajakin gak mau." Berjongkok memilah pecahan kaca di tengah ruangan adalah seorang pria kecil berjaket jersey. Bentuk wajahnya persegi empat, dengan bulu tipis menghiasi dagunya yang kotak. Rambutnya keriting layu, sedikit menghalangi matanya yang bulat. Dia Yame, tangan kanan Sege.

"Lagi nunggu telepon, Me. Gue gak mau ada gangguan kalo udah mulai." Sege terus berjalan ke tengah ruangan, menghasilkan suara pecahan barang dengan langkahnya.

"Gue gak ngerti. Lo masih percaya aja sama tuh cewek. Die pasti udah kabur sekarang."

"Gak usah mikirin yang gak perlu. Kebanyakan mikir dengkul lo sakit ntar." Berhenti di samping Yame, Sege mengulurkan tangannya. "Mending sekarang lo bagi gue piso."

Mengambil pecahan kaca yang menurutnya paling tajam dari lantai, Yame kemudian memberikannya pada Sege.

"Piso, Me. Gue bilang piso, bukan kaca! Gue sayang sama lo, tapi ayolah!"

"Oh, sori! Kirain mau gores-gores dulu." Diambilnya belati besar dari balik jaketnya, lalu menyerakannya pada Sege.

Menerima dengan helaan napas, Sege kemudian hampiri tempat tidur di sisi kamar. "Anak buangan." Lalu berhenti di depan si pemuda penuh luka, pria itu kembali menghela napas. "... Denger. Di dunia ini, cuma gue yang mau nerima lo. Tapi kenapa lo nggak ngerti-ngerti, dan terus ngelawan. Lo kuat, jadi sekali lagi ... nurut, atau terus jadi pelampiasan?"

Sunyi kemudian, sampai gerakan halus terlihat dari kepala si pemuda.

"A...k...."

Terdengar suara dari arahnya, namun terlalu kecil, terlalu serak dan kasar untuk Sege, hingga ia memutuskan untuk mendekatkan wajahnya.

"A...a...a..."

Belum cukup jelas, Sege lebih mendekat.

"A...a...a...aha...ha...han...jing...."

Mendengar apa yang ia dengar, Sege tertawa terbahak-bahak. "Ahahaaa.... Jepit lidahnya, Me."

Dengan sedikit perlawanan, Yame buka mulut si pemuda lalu mengganjalnya dengan penyangga. Tak berlama kemudian ia jepit lidahnya dengan pincers, lalu dengan kencang menariknya keluar. Si pemuda hanya bisa meronta sesaat, sampai Yame kemudian tarik rambutnya dan menahannya di tempat.

"Ah-akh!"

Melihat semuanya sudah siap, Sege kemudian tempatkan belatinya di atas lidah si pemuda dan bersiap memotong—namun kemudian, pundaknya ditepuk seseorang.

Menoleh ke arah tepukan, Sege lantas menemukan seorang gadis bersweater hijau buram dengan sebuah kantung belanja besar di satu tangan. Usianya kiranya tak lebih dari 17 tahun. Rambutnya lurus panjang, dibelah tengah menutupi kedua telinganya. Kulitnya agak gelap, dan bibirnya sedikit tebal. Luka sayat panjang melintas dari dahi kanan hingga pipi kirinya.

Dengan senyum tanpa bicara, gadis itu berikan kantung belanja besarnya, bersama sebuah kunci kamar pada Sege. Pada gantungan kuncinya tertulis, Hotel 10/7 room 107.

"Lo gak liat gue lagi sibuk?" respon Sege dengan dingin.

Masih dengan senyum tanpa bicara, gadis itu tarik kembali kunci dan kantung belanjanya lalu berjalan keluar ruangan. Namun Sege yang kemudian menyadari senyumnya kembali memanggil.

"Cewek."

Mendengar panggilan yang kemudian disusul denting besi yang terjatuh, Gadis yang dipanggil Cewek itu lantas berbalik—dan sebuah pukulan keras langsung mendarat di wajahnya. Membuatnya terlempar seketika sampai ke ujung ruangan.

"Lo kenapa senyum-senyum?" Tampak tak puas memukul, Sege lanjut menghampirinya. "Lo seneng liat gue kesel? Lo sengaja masuk, ganggu, terus puas liat gue marah?"

Seraya membersihkan darah pada bibirnya, Cewek berusaha bangkit dengan susah payah. Senyumnya sudah sirna, tapi rasa kesal yang ditimbulkannya pada Sege masih ada.

"Ge, tarlu!" Memiliki kepedulian untuk teman, dan kebencian pada siapapun selainnya, Yame bergerak cepat menghampiri. Meletakan tangannya pada pundak Sege kemudian, ia berusaha menghentikan langkahnya berjalan. "Cewek paling seneng abis jajan, Ge. Kan tadi pagi lo yang nyuruh nemenin Bagus belanja. BAGUS!"

Tak sampai 5 detik, seorang pria besar berkuncir kuda masuk ke ruangan dengan takut-takut.

"Gus, waktu balik belanja, Cewek udah senyum-senyum, kan?"

"I-iya, Me. Abis makan permen tadi dia seneng banget."

"Noh, Ge! Lagian Cewek abis dari luar, dia mana tau lo lagi kesel." Merangkul Sege, ia kemudian ajak pria penuh emosi itu menuju hiburan favoritnya. "Udah, ayo, mending kita potong-potong lagi."

Dengan kesal yang belum berkurang, Sege akhirnya berbalik meninggalkan Cewek. Namun saat Yame sudah tarik lagi lidah si pemuda, dan Sege juga sudah genggam lagi belati besarnya, gangguan lain kembali datang.

"Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam ruangan.

"KENAPA SETIAP GUE MAU SENENG-SENENG, SEMUA ORANG MENDADAK KEK ANJING?!"

"...E-e-eh ...."

"A-a-a-a-APA?!"

"B-Bunga, Bos." Dengan gemetar, ia angkat kedua tangannya yang menggengam telepon.

Sege turunkan belatinya dengan hela napas panjang. "...Bawa sini."

Takut namun tak punya pilihan, pria kurus itu segera berikan teleponnya.

"Lo tau lo telat?" tanya Sege kemudian pada telepon. Terdengar napas gelisah dari seberang, saat ia melanjutkan tanpa menunggu jawaban, "Jadi?"

"B-besok! Besok malam gue udah punya uangnya."

"Gue tunggu sampai jam 9. Kali ini jangan telat," katanya singkat, lalu melepas teleponnya begitu saja di lantai. "Penggangu selanjutnya mati."

***

UDE-UDE VOL. 1Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon