1. Sempit

30 2 0
                                    

Sabtu pagi.

Di pojok kompleks perumahan di pinggiran kota, berdiri sebuah rumah 3 lantai dengan belasan meter tanah kosong di sekelilingnya. Bukan rumah 3 lantai mewah, melainkan hanya rumah 3 lantai setengah jadi yang tidak dilanjutkan. Lantai teratasnya pun tak memiliki atap dan berakhir jadi tempat menjemur pakaian. Seluruh temboknya dicat berwarna abu gelap. Warna yang jelas bertujuan untuk menutupi kerusakan—sekaligus menegaskan gambar gulali merah muda terbalik dan tulisan "UDE-UDE" besar pada muka rumahnya. Pintunya terbuat dari pintu kulkas. Design yang menarik jika memang bertujuan untuk design, tapi itu jelas hanya pintu kulkas tak terpakai yang digunakan untuk menggantikan pintu yang rusak.

"Bang," Menenteng kotak berisi barang-barang MOS dengan kedua tangannya, Red, salah satu penghuninya muncul dari balik pintu. Seorang pemuda gondrong berkaus putih oblong, dengan garis wajah keras dan alis tebal yang selalu membuatnya terlihat kesal—tidak-tidak, ia memang selalu kesal. Namun pagi ini sedikit berbeda. Berhenti di depan terasnya yang bersih dari kotoran ataupun barang-barang, pagi ini alis tebalnya tertekuk dalam karena ia sedang memikirkan sesuatu. "kita udah pasti nggak bisa ikut SBMPT-ed, ya?"

"Kenape emang?" Muncul dari dalam dengan menenteng kotak yang sama, Fin, abang-nya balik bertanya.

Fin, adalah orang yang mudah dikenali. Bukan karena kulit pucat atau matanya yang tajam, bukan juga karena rambut tanggungnya yang selalu berantakan atau celana pendek hitam yang selalu dipakainya sampai buram—melainkan karena bekas luka potong yang menggantikan ibu jari tangan kanannya yang hilang. Ia adalah anak tertua di UDE-UDE, dan selalu bersikap sesuai statusnya.

"Ya, kita udah 17 tahud tapi baru masuk SMA."

Menyamakan langkah, mereka lanjut berjalan ke tong sampah di pinggir jalan.

"Lo masih 16, Red. Taun baru ntar baru lo 17."

"Sama aja, Bang. Lulus tetep 20!"

"Gue 20, lo 19." Mendengar dengusan Red, Fin tertawa pelan. "Tanya Maki aje coba. Gue nggak ade niat masuk PTN, nggak ngerti gue."

Kini dengan tangan kosong, mereka kembali ke dalam untuk menemukan Maki, adik laki-laki mereka. Seorang bocah berkacamata tebal, dengan rambut tipis yang terpangkas asal. Duduk menempati satu-satunya kursi kayu dalam ruang tamu, menatap laptop-nya pada meja kopi di tengah ruangan. Usianya masih 12 tahun—namun sebagaimana yang dinyatakan gaya rambutnya, bocah bersinglet lusuh itu juga baru selesai dengan MOS SMA.

"Ki, PT-ed ada bates umurnya, gak?"

Sambil melepas kacamata, Maki angkat wajah kecil tuanya pada Red yang bertanya. "...Buncis seperempat kilo?"

"Ye, die kagak nyambung." Membuat sofa berdecit dengan duduknya, Fin mendenguskan tawa.

Tak mengkhianati kesan yang diberikan dari luar, ruang tamu UDE-UDE dipenuhi furnitur dan elektronik tua. Sofa panjang di tengah ruangan yang diduduki Fin, juga kursi dan meja yang dipakai Maki. TV tabung dan radio di pojok ruangan, serta laci kayu yang menjadi penyangganya. Laci besi besar di sisi dan tiga buah lukisan di dinding, semuanya adalah barang-barang tua. Kondisi yang sama juga berlaku untuk kamar mandinya yang ada di pojok kanan rumah, kamar dan ruang kerja sang pendiri di pojok kiri, ataupun kamar anak-anak yang ada di lantai atas. Jika ada satu ruangan ataupun barang yang diistimewakan dengan perawatan di UDE-UDE, itu adalah dapurnya yang ada di kanan ruang keluarga dan tangga ke lantai atas yang ada di sana. Dan itu demi keamanan.

"Ini Maki lagi liat resep, Bafin" katanya. "Bared tadi nanya PTN, ya?"

"Ya." Menghela napas panjang, Red ambil tempat duduk di samping abang-nya. "Ada bates umurnya, gak?"

UDE-UDE VOL. 1Where stories live. Discover now