2. Busuk & Kurang

21 3 0
                                    

Kecantikan Bunga kian memudar. Mata cokelatnya tak lagi cerah dengan kantung hitam di bawahnya. Wajahnya tirus dan kulitnya putih pucat bagai mayat. Setiap hari ia selalu mengutuk dan menyalahkan bajingan yang telah memberinya barang haram itu untuk pertama kali atas semua kemalangan yang telah menimpanya. Namun dalam kenyataan, ia hanya punya diri sendiri untuk disalahkan.

Hidupnya sudah hancur. Ia kehilangan pekerjaan, teman, keluarga dan harta bendanya pergi satu demi satu untuk membayar hutang yang tak pernah selesai. Kini ia sendirian, tinggal di sepetak rumah sewaan, dan tak memiliki apapun kecuali lima setel pakaian, satu jaket, sepasang sandal jepit, dan sebuah liontin hitam raksasa yang pernah ia ambil dari tangan seorang pria tua yang sedang tertidur.

Duduk di pojok ruangan, Bunga memandang liontin itu dengan wajah serba salah. Sejak pertama kalinya melihatnya, ia selalu tahu betapa istimewanya liontin yang sedang ia genggam. Dan sejak hutang yang melilitnya mulai tak terbayar, ia juga selalu tahu bahwa dengan menjualnya, ia bisa melunasi segalanya. Lupakan, ia bahkan bisa membeli hidup baru! Tapi ia tak pernah menjualnya. Sebagai seorang wanita yang pernah menjadi pemikat pria, ia tak bisa menahan diri untuk jatuh cinta pada keindahan permata. Liontin hitam itu perlahan menjadi terlalu berharga untuknya berpisah. Setidaknya sampai hutangnya tumbuh terlalu besar. Terlalu besar, hingga harus dibayar dengan bagian tubuhnya.

"ARGH! ANJING!"

Bruk! Memukul tembok mereka yang menyatu, Bapak tua yang tinggal di sebelahnya membentak, "BERISIK!"

"HAH?"

"BERISIK!"

"BANGSAT! LO YANG BERISIK, TERIAK-TERIAK MUKUL TEMBOK!"

"YA KALO LO KAGAK TERIAK, GUE JUGA KAGAK!" Terdengar suara gonggongan anjing di belakang rumah mereka. "AH, JABLAY! BANGUN KAN NOH ANJING BELAKANG!"

"BAPAK-IBU, MAAP!" Seorang pemuda yang tinggal di sisi lain ikut. "SAYA BESOK TES PTN, BERANTEMNYA NTAR, BISA?!"

"BISA!" jawab Bunga.

"LAH, CUNGUK?! GUE DIKATA KETAN ITEM BERBISA! MAU RIBUT, APA?!" Bapak tua yang salah dengar tidak bisa.

"YEH, ANJING AYO!" Terdengar langkah kaki dari tempat tinggal si pemuda. "CURUT BUDEK KAYA LO EMANG HARUS DIPINGSANIN BIAR DIEM!"

"SI ANJING, GUE DIKATA KANG URUT GUDEG!" Terdengar juga langkah kaki dari tempat si bapak tua.

Bunga mengusap wajahnya frustrasi.

"Abis lunas, gue bakal pindah ke luar negeri dan make barang-barang berkualitas tinggi!"

Mengambil jaket merahnya dari lantai, Bunga pergi ke satu-satunya tempat untuk menjual permata ilegal. Sebuah tempat bernama, Warung Haha.

***

Di tengah lahan kosong di bawah jalan layang, berdiri sebuah bangunan besar persegi dengan tiga pintu besar pada tiga sisinya. "Warung Haha" tertulis di atas pintu utama. Nama yang tidak cocok untuk tampilan gudang pabrik jika dilihat dari luar, dan sama tidak cocoknya untuk tampilan bar saat masuk ke dalam. Jendela besar di atas pintu dan atap, meja dan kursi yang tersebar di seluruh ruangan, sebuah bar di pojok dengan stool yang berjajar, panggung kecil di satu sisi dan toilet di sisi lain, serta kantor pemilik di lantai atas yang terhubung dengan satu-satunya tangga dalam ruangan. Dari sisi manapun melihatnya, Warung Haha tidaklah cocok disebut warung. Namun si pemilik tak pernah peduli, mengingat ia memberi nama berdasarkan fungsi.

Warung Haha adalah tempat transaksi jual-beli. Makanan, minuman, pakaian, alat elektronik, perhiasan, asli-palsu, legal-ilegal, apapun kecuali senjata dan obat-obatan. Bukan karena si pemilik tak suka uang dengan memberi pengecualian pada beberapa barang, tapi ia terlalu suka uang untuk mengambil resiko tertangkap dan berhenti menghasilkan.

"Anjing, pusing banget pala gue." Mengambil tempat duduk di bar yang kosong, pria buncit berkaus polo itu menyalakan rokoknya. "Nyokap minta beliin HP, Ha. Ada gak yang murah tapi bagus?"

Berdiri di seberangnya adalah seorang wanita berhidung penguin. Rongga matanya dalam, membuat bola matanya terlihat hitam. Kulitnya cokelat, dan rambut panjangnya tinggi terikat bulat. Ada tato garis putus-putus mengelilingi lehernya, dengan tulisan "Gunting di sini" mengakhiri di bawah telinganya. Dia Haha, si pemilik warung.

"Lo pikir lo lagi ngomong sama siapa?"

Cukup jelas untuk banyak orang, Haha bukanlah nama aslinya. Tidak ada yang tahu nama aslinya. Tapi Haha dipanggil Haha karena keramahannya saat bicara.

"Ya ada lah!" Haha mendenguskan tawa. Kemudian diambilnya satu kotak kecil dari kolong bar, lalu meletakannya di atas. "Nih, Xiamoi! Bisa ngapain aja dia, dan harganya cuma?"

"Lima ratusan?" Setengah tertawa, pria buncit itu angkat kotaknya ke depan wajah. "Xiamoi ... Gak usah yang canggi-canggi, Ha. Ibu gue gak chattingan."

"Kalo gitu." Diambilnya kotak lain di kolong, lalu meletakannya di atas bar. "Nih, Motolola."

"Nah, ini!" Pria buncit itu menatap senang. "Berapa?"

"Ambil aja," kata Haha, lalu menunjuk kumpulan botol di belakangnya. "Tapi beli dulu satu botol di belakang."

"Tai kali! Mending gue beli Xiamoi!" Pria buncit itu tertawa. "Udah sini gue bawa, lima ratusan, kan?"

Dengan wajah puas dan umpatan-umpatan bersahabat, pria buncit itu meninggalkan Haha sendirian—sampai lonceng pintu kemudian kembali berdenting.

Masuk menggantikan si pria buncit adalah seorang wanita kurus pucat berjaket merah lusuh. Melihat sekilas, Haha langsung tahu kalau wanita itu adalah seorang mantan pemakai. Namun tentu, itu bukan alasan untuknya berhenti bersikap ramah.

"Lo Haha?" Wanita itu berdiri di depan bar. Gelagatnya cemas, melihat kiri-kanan.

"Itu saya!" Haha tersenyum lebar. "Perlu sesuatu?"

Meraih sesuatu dengan ragu dari balik jaketnya, wanita itu kemudian menunjukan sebuah liontin musgravite sebesar kepalan tangan. "Gue perlu jual ini."

Haha selalu menyukai nama panggilannya. Selain bagus untuk bisnis, seperti sikap ramahnya, nama itu juga mampu menegaskan keseriusan situasi saat wajahnya tak lagi dipenuhi cengiran.

"Boleh gue cek?"

"O-oh, ya." Dengan berat hati, wanita kurus itu menyerahkan liontinnya dan Haha segera membawanya ke kolong.

Tak bisa melihat apa yang dilakukan Haha dengan liontinnya sudah cukup membuat wanita itu gelisah, namun tiba-tiba—Tok! Terdengar suara hantaman palu.

"Lo ngapain?!"

Tak ada jawaban, melainkan pertanyaan. "Ada yang tau lo punya ini?"

"Hah?"

"Adakah seseorang yang tahu kalau Anda memiliki benda ini?"

"Uh? Ng-nggak. Gak ada yang tau."

"Pertahankan seperti itu." Haha keluar dari kolong dengan kotak kecil yang terbuat dari besi di tangan. Ia memberikannya pada wanita itu, lalu kembali dengan sikap ramahnya. "Simpen yang bener. Gue punya kenalan, ibunya lusa besok ulang tahun. Mungkin dia tertarik buat beli ... Lo butuh cepet, kan?"

"Y-ya, tolong! Kalo bisa besok!" Wanita itu tak bisa menutupi rasa putus asanya.

"Bisa, kok, bisa! Bisa banget!" Haha mengangguk-angguk berlebihan. Tahu kalau wanita itu harus segera membuat panggilan, Haha kemudian menambahkan, "Oh, teleponnya di sana."

Mengikuti arah tangan Haha ke ujung bar, wanita kurus itu berkata, "Makasih!"

Melihatnya sudah membuat panggilan, Haha lantas melakukan hal yang sama dengan ponselnya.

***

UDE-UDE VOL. 1Where stories live. Discover now