🇳🇱16. Balas Dendam🇳🇱

600 122 11
                                    

Yuk..klik bintang dan ketik komennya..

Happy reading😍

Beatrix serasa terbang, melayang bersama udara dingin sebelum akhirnya mendarat di permukaan air yang sedingin es. Setelah badan Beatrix terhempas, membuat tubuhnya tertarik ke dasar beberapa saat, kepala Beatrix akhirnya menyembul muncul ke permukaan. Gadis itu gelagapan berusaha membebaskan diri dari sungai.

Kedua laki-laki yang seperti bocah cilik itu tertawa terbahak-bahak. Bahkan dengan teganya Oliver menertawakan Beatrix sambil menunduk-nunduk menahan sakit perutnya.

Wajah Beatrix tertekuk dengan merutuki kedua pemuda itu. Bisa-bisanya mereka bertindak sekonyol itu. Ketika Dewa selalu memperingatkanku untuk mewaspadai Oliver, justru mereka sendiri yang akhirnya berteman baik. Berkomplot untuk menyeburkan aku ke dalam sungai yang suhunya mungkin hampir 0 derajat.

Dewa mengikis bulir bening yang meleleh dari matanya. Tawanya tak mau berhenti ketika melihat wajah Beatrix yang bertekuk-tekuk tak berbentuk. Apalagi ketika 'lelaki' kecil itu berkecipak melawan arus tenang dengan lengan tak berotot. Serasa Dewa berhasil melakukan ulah jahilnya.

Beatrix mencapai tepi. Wajahnya masih merengut memperlihatkan ekspresi tak suka. Dua pria dewasa kekanak-kanakan itu saling memberi 'high five' dan saling menumbuk dada, membuat Beatrix kesal dengan ulah mereka. Gadis itu berpikir, pasti Dewa dan Oliver sangat jail dan nakal sewaktu kecil. Terbukti ulah mereka sekarang tak ubahnya anak lelaki badung.

Dewa dan Oliver mengistirahatkan badannya, berbaring begitu saja di atas rumput. Tak takut ulat, semut atau apapun yang akan mengganggu dan menggerayangi tubuh mereka.

Masih tertawa, kedua lelaki itu berbaring menumpukan kepala di atas kedua lengan kokoh. Beatrix menghela napas. Sungguh ia ingin marah. Namun ditahannya. Di tepi sungai, dan masih mengambang di air, gadis itu memikirkan cara membalikkan keadaan agar mereka jera tak mengusilinya lagi

Dewa mengembus napas panjang. Mengatur oksigen masuk. Tawa lepasnya membuat tubuhnya terasa ringan. Beban yang ada di dalam hatinya menguap begitu saja, membuat pikirannya jernih. Ditambah kehangatan mentari sore yang menyengat tubuh basahnya, membuat Dewa merasakan kenyamanan.

"Wa, terima kasih kamu membuatku tertawa lepas. Sungguh menyenangkan kembali menjadi bocah." Sisa kekehan Oliver masih terdengar. Wajahnya berubah menjadi merah akibat tawa yang menyembur lama.

"Tidak kusangka, kamu juga suka menjaili orang," kata Dewa menatap awan-awan yang bergelayutan di langit biru. Awan itu bagai gula-gula kapas yang berwarna putih yang memayungi kepahitan perang.

"Hah, aku dulu terbilang jail dan nakal. Selalu mendapat teguran oleh guruku sewaktu sekolah. Orangtuaku sering kali dipanggil oleh kepala sekolah," kenang Oliver. Matanya memicing, mengatur sorotan cahaya matahari yang masuk ke dalam matanya.

"Sama. Aku selalu pulang dalam keadaan basah dan kotor, membuat ibuku selalu menghadiahi aku dengan pukulan rotan. Tapi, entahlah ... sekeras apapun ibuku memukul dan mengomel, aku tetap saja melakukan hal yang sama," timpal Dewa.

"Ya. Kita anak laki-laki kalau tidak banyak bergerak artinya sedang sakit. Kalau sehat, pasti kita sudah jingkrak-jingkrak tak keruan seperti tupai yang loncat sana kemari," tambah Oliver.

"Hahaha... anak lelaki di mana-mana sama."

"Seandainya bisa, aku ingin seperti Peter Pan yang tak bisa tumbuh besar," keluh pria Jerman itu.

"Tidak, aku tetap ingin tumbuh besar. Cita-citaku sewaktu kecil ingin membebaskan bangsaku dari belenggu penjajah. Sampai akhirnya aku bisa bertemu dengan seorang gadis yang mengisi hatiku. Gadis yang karena kebaikan hatinya membuatku tak bisa berhenti mencemaskannya. Dan karena kecantikan hatinya, aku sangat mencintainya ...."

Nederland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang