4. Selembut Embun

Start from the beginning
                                    

Affan mengangguk membenarkan. “Mungkin karena selama ini, kita udah terbiasa ngejalani yang berat-berat. Jadi, kalau cuma sekadar perjodohan nggak bikin kita kerepotan.” Hanya menanggapinya dengan tawa kering, Anin kembali fokus pada touch upnya. “Ngomong-ngomong, kamu belum jelasin hubungan kamu sama Cakra itu gimana?”

“Nggak ada gimana-gimana sih, dia cuma naksir aku. Pernah nekat merkosa juga, tapi untung ada papa,” Anin menjelaskan santai. Seakan kata perkosa yang ia ucap sama maknanya dengan mengatakan bahwa hari ini adalah hari Rabu.

“Cakra pernah coba perkosa kamu?” Affan nyaris berseru andai ia tidak lihai mengolah keterkejutan.

“Iya, tapi nggak jadi.”

Balasan yang luar biasa santai dari Anin membuat Affan menarik napas panjang. Ia belum ingin mengomentari, jadi, ia pusatkan perhatian pada jalanan yang merayap padat. Kepalanya menggeleng, demi mengusir kebisingin dari benaknya yang berebut ingin bertanya lebih rinci lagi. Membuka kaca mobil, Affan tertawa saat angin berebut memasuki mobilnya. “Wow, Anin. Wow, Anin,” sarkasnya mengudara tanpa ia sadari. “Dan kamu tetap bertahan di sana?”

“Aku udah berusaha keluar, tapi papa nggak ngizinin.”

“Papamu tahu kelakuan Cakra?”

“Nyaris semua orang yang ada di rumah itu tahu,” lalu Anin memilih menatap Affan lekat-lekat. “Makanya, aku nggak keberatan dijodohkan. Karena syarat aku ninggalin rumah memang harus menikah. Biar papa tenang.”

“Maksudnya?”

Anin hanya menggeleng seraya tersenyum puas. Ia mengatur sandaran kursi dan sedikit menurunkannya. “Kita punya waktu setelah menikah nanti buat ngebahasnya. Sekarang, boleh aku izin tidur bentar. Aku ngantuk banget.”

Affan mendengkus, ia lirik Anin sekilas saja. “Memangnya kamu ke mana aja dari tadi? Jam tiga sore udah pulang ‘kan?”

“Aku tidur, Fan. Orang tidur nggak bisa jawab,” sunggut Anin dengan mata memejam.

Affan mendengkus, kepalanya menggeleng sementara ekor matanya betah memerhatikan Anin yang memejam disebelah. Ia tidak tahu bagaimana cara kerja semesta, ia juga tak paham mengapa takdir membuat peran untuk mereka. Tidak ingin menebak-nebak masa depan yang telah tergaris, Affan hanya paham bahwa mulai sekarang Anin akan menjadi salah satu tokoh yang mengambil peran cukup banyak untuk alur hidupnya.

***

Anin menipiskan bibir, sementara Affan sama sekali tak merasa bersalah. Bahkan, ketika tatapan tajamnya tersemat pada pria itu, Affan hanya melipat alisnya kemudian mengedik dan mengajaknya masuk ke dalam. Namun Anin belum ingin. Jadi, ia tarik lengan Affan yang kepayahan membawa kado besar dengan kedua tangan.

“Kenapa nggak bilang kalau yang ulang tahun itu anak SMP?”

“Kamu nggak pernah nanya ‘kan?”

Anin berdecak, ia merasa sangat salah kostum ketika nyatanya ia pergi ke acara ulang tahun seorang remaja perempuan yang berusia 13 tahun. “Aku pikir yang ulang tahun umurnya udah dua puluhan. Dan ballroom ini diubah jadi arena clubbing. Bukan dekorasi warna pink  di mana-mana gini,” gumamnya dengan intonasi yang sengaja ia tekan. “Lipstikku kemerahan, Fan.”

Affan menanggapinya dengan pendaran bosan. Setengah mencebik, ia tatap Anin lekat. Matanya menyipit agar pandangannya semakin jelas. “Dihapus dikit pakai tisu aja. Atau sebenarnya nggak apa-apa lho, Nin, nggak terlalu merah,” ia sentuh bibir bawah Anin dengan tangan yang tak repot memegang kado. “Udahlah, nggak kemerahan. Pas kok. Nanti dihapus jadinya pucat. Gini aja.”

Tepat ketika kata terakhir ia ucap, deheman di belakang membuat keduanya menoleh.

Awalnya mereka bersikap biasa saja. Namun, begitu mengenali sepasang suami istri di belakang mereka, keduanya segera meringis. Refleks, Affan menurunkan tangannya. Sementara Anin, segera menyematkan senyum canggung dan berusaha menguasai diri.

Bening Where stories live. Discover now