xi

808 133 8
                                    

Berdiri tepat disisi wanitaku, aku memijit lembut belakang leher milik Irene. Menatap jelas wajah pucat pasi yang terpantul dari cermin toilet, mengeluarkan seluruh isi perutnya setelah hampir tiga jam terlelap setelah menjalani chemo pertamanya.

"merasa lebih baik?" tanyaku pelan saat ia mengangkat kepalanya.

Sejenak, ia tidak menjawab pertanyaanku. Kedua manik yang aku selalu agung agungkan itu menatap lekat lekat wajah pucat layaknya zombie gila yang biasa ia tonton setiap akhir pekan. Dulu, ia selalu berkata sesering apapun dan secinta apapun ia dengan drama series zombie yang selalu ia tonton tanpa terlewat satu episode pun, ia tidak ingin wajahnya mirip dengan mayat berjalan itu.

Namun sangat disayangkan, wajah itu kini tampak mirip dengan mereka; para mayat hidup.

Ia membuang pandangannya dari cermin, membasuh mulutnya, lalu bercicit, "jauh lebih baik dari sebelumnya."

Tepat lima menit yang lalu, kala Irene membuka kedua matanya setelah tidur panjangnya, secara tiba tiba saja ia mengeluhkan sakit yang luar biasa pada perutnya. Perutnya terasa melilit, indera penciumannya mendadak sensitif terhadap wewangian, dan kepalanya terasa pusing hebat-seakan akan ia baru saja turun dari komedi putar yang berputar dengan kecepatan maksimal dan mengantarkannya pada titik ini.

Titik dimana ia memuntahkan seluruh isi perutnya kuat kuat.

"mau kuambilkan air hangat?"

Dengan wajah pucat pasinya, ia mengangguk lemah.

Tanpa basa basi, aku segera mengambilkan segelas air hangat yang mungkin membuatnya merasa lebih baik.

"terima kasih banyak." cicit Irene lemah sembari menyodorkan gelas yang ia teguk habis isinya tersebut.

"mau kubopoh?" tawarku yang segera ia angguki lemah.

Tubuhnya sangat ringan, membuatku dengan begitu sangat mudah dapat membawanya diatas pundakku. Inhaler oksigen yang beberapa jam kebelakangan kini kembali terpasang sempurna di hidungnya.

Aku pasien kanker jantung, bukan paru paru. Aku tidak mau pakai itu, ucapnya beberapa jam yang lalu-meskipun pada akhirnya ia terpaksa memakai inhaler tersebut in purposeditakutkan jantungnya yang mulai melemah itu tidak dapat menyalurkan oksigen dengan baik.

"mau kembali tidur?" tanyaku sesaat Irene berhasil menududukan tubuhnya diatas ranjang.

Setelah proses chemo yang ia jalani siang tadi, Irene yang biasanya memang heavy sleeper segera terlelap setelah treatment pertamanya dilakukan. Ia tertidur hampir tiga jam lamanya. Dengan tubuh meringkuk dan sesekali merintih kesakitan di perutnya, wanita itu terus menutup kedua maniknya-membuatku yang sedari awal sudah panik dengan tingkah lakunya, menjadi semakin panik.

Kata suster jaga yang biasa mengurus Irene, sih: merintih, mual, kesakitan, dan pusing pasca chemotherapy itu biasa. Apalagi untuk yang pertama.

Namun tetap saja, bagi orang awam sepertiku, reaksi yang Irene keluarkan membuatku ketakutan setengah mati.

Irene bergerak masuk kedalam selimutnya. Ia mengangguk, "bukankah kau bilang ada kelas tambahan hari ini?"

"itu hanya kelas tambahan." sanggahku santai, seberusaha mungkin meyakinkan Irene mengenai kondisi asliku yang mungkin dikejar kejar guru privat-ku sekarang. "lagipula-"

Drrt! Drrt!

Ponsel yang berada disakuku bergetar.

"itu pasti dari gurumu." kali ini aku hanya bisa melempar senyum canggung pada Irene yang menatapku sinis.

Before You Go ✔️Where stories live. Discover now