Diary 08 : °Kim Namjoon°

3.6K 405 153
                                    

Jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, Namjoon adalah mahasiswa terpintar. Dia selalu mendapatkan pringakat nomer satu dan beasiswa—tentu saja. 

Dia adalah anak yang disukai para dosen karena kepintarannya itu. Jadi tidak asing lagi jika dia selalu menjadi buah bibir di kampus. Setiap melangkahkan kaki, selalu saja ada yang membicarakannya. Baik itu mengenai nilainya, fisiknya yang tampan ataupun keluarganya.

Seperti saat ini, dia berjalan menuju kantin kampus dan mendengar jika seseorang yang ada di belakangnya membicarakan dirinya.

"Kau lihat, Namjoon. Gayanya sok sekali.  Tidak menyapa, tidak mau bergabung dengan kita, dan bla ... bla ... bla ...."

Namjoon tidak perlu mendengarkan omongan tersebut, tidak penting. Dia pun mendudukkan dirinya tidak jauh dari merekan dan tidak sengaja Namjoon bisa mendengar omongan tidak pantas yang mereka katakan—omongan tentang kehidupan pribadinya, "Kau tahu tidak? Namjoon itu anak buangan. Aku adalah tetangganya, tapi kau jangan bilang siapa-siapa ya kalau aku tetangganya. Dia itu dibuang karena orang tuanya tidak mampu membiayai hidupnya. Kata Ibu ku sepeti itu."

"Benarkah?! Anak buangan saja, sombongnya minta ampun!" sahut temannya yang lain.

Brak ....

Namjoon mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Dia sudah tidak bisa sabar. Sabar juga ada batasnya, bukan?
Namjoon mendekat ke arah orang yang telah membicarakannya tadi, kemudian memberi pelajaran kepada mereka. Bukan pelajaran seperti memukul mereka dengan kekuatan fisik, tapi memukul mereka dengan perkataan yang tak kalah menyakitkan.

"Hei kau, anak mama! Memang benar aku ini anak buangan, tapi aku bukan anak dari orang tua yang hutangnya ada di mana-mana seperti keluargamu. Aku sangat bersyukur dengan keadaanku sekarang, tidak sepertimu yang setiap hari minta sesuatu yang mahal pada orang tuamu yang untuk makan saja—mereka mencarinya dengan susah payah. Dasar beban keluarga! Hargailah kerja keras orang tuamu itu, selagi mereka masih ada."

Namjoon kenal makhluk yang kini dia sindir itu, lelaki itu adalah tetangganya dan Namjoon tahu keadaan sosial mereka seperti apa. Syukurlah dia ikut Seokjin ketika berbelanja sayur dan sedikit mendengar gosip yang ibu-ibu ributkan, sehingga dia mengetahui apa yang terjadi disekelilingnya.

Namjoon kembali ke tempat duduk dan memakan pesanannya dengan tenang tanpa adanya ganguan. Sebenarnya jadwal kuliah hari ini sudah selesai—tinggal menunggu Hoseok datang kemari—lalu mereka akan pulang bersama. Tapi Hoseok lama sekali tidak datang-datang, Namjoon kan jadi kesal.

"Lama sekali," gerutunya dalam hati.






Lima belas menit …








Dua puluh menit …











Dua puluh lima menit …









Tiga puluh menit ….











Sudah setengah jam Namjoon menunggu Hoseok, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Ya sudah, jangan salahkan Namjoon jika Hoseok dia tinggalkan.

Namjoon memilih berjalan kaki, seperti yang ia lakukan jika pulang bersama dengan Hoseok. Tidak ada niatan untuk naik bus atau semacamnya. Jalan kaki adalah pilihan terbaik. Selain menghemat uang, Namjoon juga mendapatkan sehat. Iya, 'kan?

Ketika melewati sebuah rumah panti asuhan, langkah kakinya terhenti seketika. Memorinya kembali pada masa-masa dirinya dititipkan ke rumah tersebut. Kalau tidak salah, umurnya masih duabelas tahun pada saat itu.

Dia ingat ucapan yang terakhir ibunya katakan, "Namjoon-ah, jadilah anak yang baik, pintar, dan penurut, ya? Jangan jadi pembangkang, Ibu tidak suka itu. Ibu akan pergi sebentar ke rumah nenekmu tapi Ibu tidak bisa mengajakmu ke sana. Mangkanya, kamu Ibu tinggal dulu di sini, ya? Bersenang-senanglah di sini."

Namjoon kecil hanya mengangguk, menurut apa yang Ibunya katakan. Walaupun otaknya yang cerdas sudah mengerti dan paham maksud dari sang Ibu yang membawanya kemari dengan alasan akan meninggalkannya sebentar ke rumah nenek.

Matanya terus tertuju pada rumah panti tersebut yang kini ramai dengan anak-anak yang bermain bersama dengan temannya. Rasanya senang sekali melihat orang lain senang. Hingga ia tak sadar jika di sebelahnya kini telah berdiri manusia yang dari tadi ia tunggu-tunggu kedatangannya. Siapa lagi kalau bukan, Jung Hoseok.

"Kau teringat masa lalu, Joon?"

Namjoon tersentak sedikit kaget, mendapati Hoseok yang kini sudah ada di sampingnya. Setelah itu, senyumanlah yang menjadi jawaban.

"Kau masih beruntung, Joon. Kau ditinggalkan di panti asuhan. Di sana masih banyak orang yang menyayangimu dan kau masih memiliki teman bermain. Sedangkan aku? Aku ditinggal sendirian di sebuah taman bermain. Nasib kita berdua sama—dibuang."

For your information, Hoseok adalah seseorang yang ditemui Seokjin pada saat dia sedang berlibur dengan keluarganya di taman bermain. Seokjin menemukan Hoseok di sana seorang diri, dan akhirnya dia meminta ayahnya agar membawa Hoseok pulang.

"Bukan dibuang, Hobi-ah. Mereka hanya yakin kalau kita bisa bertahan hidup tanpa bergantung pada mereka. Bukankah semua anak diajari agar menjadi seseorang yang mandiri oleh orang tuanya? Itulah yang orang tua kita lakukan, jadi jangan menganggap diri kita ini anak buangan."

Namjoon berusaha menyemangati Hoseok dengan ucapannya tersebut, tapi dia juga butuh kalimat tersebut untuk dirinya sendiri. Namjoon hanya bisa berharap, dimanapun orang tuanya berada. Semoga mereka selalu sehat dan berbahagia. Dan satu lagi, semoga mereka bisa dipertemukan kembali dengan skenario Tuhan yang indah. Bukankah semua manusia selalu menginginkan happy ending dalam kehidupannya? Begitupun dengan Namjoon.



-Diary : 08 ~Fin
09.09.19

Diary Sang Maknae || [Dibukukan]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora