1. Prolog

116K 5.5K 735
                                    

Tera berjalan menyusuri sepanjang koridor. Ekor matanya bergerak ke kanan dan ke kiri seolah memastikan tak ada yang memergokinya melangkah ke taman belakang.

Gadis itu berdebar hebat. Gugup dan cemas melanda. Hatinya deg-degan tak karuan. Sungguh, ini di luar nalarnya. Cowok sekeren Sagara Biru memintanya menemuinya di taman belakang. Sejak awal menginjakkan kaki di SMA Angkasa, gadis itu sudah mengagumi Sagara Biru, siswa satu angkatan dengannya yang duduk di kelas sebelas MIPA A.

Tera berhenti di taman belakang. Sagara sudah duduk di bangku dan menatap tajam ke arahnya. Cowok itu beranjak dan melangkah mendekat. Tera semakin berdebar. Ia bertanya-tanya, apa ini karena puisi karyanya yang sempat dijadikan bahan lelucon oleh Alexa dan teman-temannya? Puisi yang ia tulis sebagai ungkapan rasa untuk Sagara dan ia selipkan di buku Matematika. Alexa yang terbiasa meminjam tugasnya memergoki puisi itu. Ia dan teman-temannya menertawakannya dan mengatakan bahwa ia tak tahu diri karena menyukai cowok sekeren Sagara. Alexa memintanya bercermin agar segera bangun dari khayalan kosong.

Tera sadar benar, dia murid paling cupu dan miskin di sekolah. Kalaupun dia bisa bersekolah di SMA yang terkenal elit itu, ia rasakan sebagai keajaiban. Tiba-tiba perwakilan dari pihak sekolah menemuinya di rumah dan menawarkannya beasiswa. Nilai ujian semasa SMP berhasil menjadi nilai terbaik di kabupaten.

Keterbatasan kondisi terutama perekonomian keluarga yang masih morat-marit ditambah penampilan fisik yang tidak secantik teman-temannya membuatnya minder dan perlahan menarik diri dari sosial karena memang tak ada yang mau berteman dengannya. Terlebih pekerjaannya yang terkadang memulung sampah, membuat bajunya sedikit berbau tak sedap jika sebelum berangkat ia membereskan sampah yang terkumpul terlebih dahulu. Namun sejak menyadari bau seragamnya sedikit mengganggu, ia tak lagi membereskan sampah sebelum berangkat sekolah. Kendati sudah tak lagi berbau, teman-temannya terlanjur ill-feel, karena status sosial yang memang jomplang ditambah sikap pendiam dan introvert-nya juga membuat Tera sulit membangun pertemanan dengan siapapun.

"Lo yang nulis puisi itu kan? Yang kemarin dipajang di mading dan viral?" Sagara menelisik wajah Tera yang tertunduk. Kulitnya terlihat dekil dengan tangan mungil yang kurus ditambah sepatu butut menghias kaki rampingnya.

Tera hanya mengangguk pelan, tak berani menatap Sagara.

"Gue suka puisinya," ujar cowok itu singkat.

Tera mengangkat wajahnya dan bengong. Apa ia tak salah dengar?

"Di puisi itu lo mengungkapkan perasaan lo dan berimajinasi seandainya lo jadi pacar gue. Gimana kalau gue minta lo jadi pacar gue?"

Tera melongo sekian detik. Ia tatap Sagara yang juga menatapnya tajam. Apa pemuda itu serius?

"Kamu... Kamu serius? Bagaimana bisa kamu minta aku jadi pacarmu? Kamu bisa mendapatkan siapapun yang lebih segalanya dariku."

Sagara tersenyum begitu manis. Ia tatap gadis itu dengan lebih tajam.

"Gue serius. Lo tinggal jawab aja. Mau apa nggak? Kalau lo menolak, gue nggak akan deketin lo lagi dan nggak akan pernah meminta lo buat jadi pacar gue lagi." Sagara bicara tegas.

Tera bingung, galau, dan berkali-kali ia mencubit pergelangan tangannya, apakah terasa sakit? Apakah ini nyata?

"Gue nggak punya banyak waktu buat nunggu. Lo mau jadi pacar gue apa nggak?" Sagara bertanya sekali lagi.

Tentu Tera tak mau kehilangan Sagara. Sudah lama ia memendam perasaan pada cowok satu itu dan sering berkhayal bahwa Sagara akan mengerti perasaannya.

Tera mengangguk. Ia ingin merasakan bagaimana memiliki seseorang yang ia cintai dan mencintainya.

"Ya... Aku mau..." Tera mengulas senyum.

Bullying Survivor (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang