18 | The Reunion

384 65 0
                                    

BUKAN SALAH Erin kalau dia harus kabur dari kapal dagang milik Fang.

Pasalnya, pasukan penjaga keamanan istana dengan lancang menggeledah kapal itu. Sang nahkoda sudah berkali-kali menjelaskan bahwa ia hanya mematuhi perintah kaptennya untuk kemari. Kapal itu nyaris tanpa muatan, hanya membawa Orion, Fang, Erin, serta beberapa kru dan kargo berisi sandang yang akan mereka jual karena belum sempat terurus selepas kekacauan di Eterno.

Erin yang enggan diperiksa--atau identitasnya sebagai keluarga kerajaan akan terbongkar--memilih untuk kabur dan berlari menjauh dari para prajurit sekuat tenaga. Ditujunya istana Sirena yang megah dan rimbun, mencoba mengulik ingatan tentang letak-letak area itu dari memori sepuluh tahun yang lalu.

"Erin, jangan ke sana, saljunya sedang lebat!" Anak lelaki bersurai carnation pudar berusia enam tahun itu berlarian dengan cepat di lorong, mengejar seseorang yang telah melesat lebih dahulu di depannya. Dalam beberapa detik, tangannya telah menggamit lengan seorang bocah sebaya berambut crimson.

"Tapi aku ingin melihat salju, Kakak. Di luar sedang turun salju. Erin tidak pernah bermain salju sebelumnya...." Bocah crimson itu mengerjap. Netra apinya berbinar tetapi berkaca-kaca. Usahanya untuk mengendap keluar dari kamar mereka yang hangat ke pintu keluar demi melihat salju pin gagal. Sang kakak terlalu cepat menangkap anak itu.

"Erin, tidak boleh." Dielusnya pundak song adik, "Lihat saljunya dari jendela kamar saja. Di sini dingin, ayo."

Bocah merah itu tetap cemberut. Sambil mengerucutkan bibir merajuk, ia menggeleng. "Tidak mau, Erin bosan di dalam terus, Kakak."

"Kalau begitu biar Kakak ceritakan sebuah dongeng. Erin yang memilih dongengnya. Bagaimana?"

Kenangan itu tiba-tiba menyeruak hadir ketika Erin berlarian di sepanjang koridor istana Sirena yang dilapisi ubin-ubin bening berwarna cerah. Tanpa bisa mengelak, Erin sadar betapa ia merindukan tempat ini. Rumahnya, tanah kelahirannya, dunia di mana kenangan hangat tentang masa kecilnya berada. Pada dinding kaca bermosaik lambang Sirena tempatnya dulu biasa berdiri di sana dan memandangi salju  uang berjatihan dari langit, pada lukisan-lukisan abstrak di dinding tempat ia dan sang kakak sering asal menebak arti dibaliknya, juga pada pilar-pilar bangunan tempatnya biasa bersembunyi kala bermain petak umpet.

Netra Erin memanas. Betapa ia merindukan rumahnya.

"KAU, BERHENTI!"

Para penjaga itu mengejarnya hingga koridor. Erin mulai berhitung situasi. Meski telah menjadi kesatria Lama, aktivitas fisik yang berat seperti berlari tetap menjadi kelemahannya. Paru-parunya lemah, kenyataan itu tak akan bisa diubah.

Erin berpikir keras. Kenangan akan masa kecil membuat konsentrasinya teralihkan. Satu-satunya hal yang terpikirkan adalah masuk ke salah satu pintu-pintu ruang yang berjajar di sepanjang koridor, baru saat itu ia akan memikirkan strategi selanjutnya.

Samar, terdengar seruan dari suara orang yang ia kenal dengan baik dari salah satu pintu. Suara yang memiliki ketegasan dan penekanan milik Orion. Erin hampir yakin kalau Tuannya itu sedang marah-marah--entah pada siapa--toh Orion memang hobi memarahi orang, sudah tak terhitung berapa kali dirinya menjadi sasaran kejengkelan Pangeran Lama itu. Meski, Erin tahu dibalik sikap galaknya itu, hati Orion sebenarnya begitu lapang. Menjadikan Orion sebagai tujuan bukanlah hal yang keliru, Orion pasti akan melindunginya.

Throne of StellarWhere stories live. Discover now