13 | Recalling Memories

451 77 25
                                    

"BELUM TIDUR, Nak?"

Bocah bertelinga rubah itu mengintip dari balik selimut. Takut-takut melihat siapa sosok yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Apakah ibu atau dengan ayahnya. Karena hanya ada satu sosok wanita, maka ia berani membuka wajah dan bangkit untuk menyandarkan punggung di dipan.

"Coda belum mengantuk, Ibu." Bocah itu mulai memasang raut manja, "Berikan Coda dongeng sebelum tidur, ya?"

Wanita bersurai oranye lembut itu pun tersenyum. Ia duduk di tepiannya kasur milik sang putra, mengelus surai lembut anaknya yang berwarna sekelam langit malam Alba.

"Coda ingin ibu ceritakan tentang apa?"

"Mmm," Anak itu bergumam. Menatap langit-langit kamar yang dihiasi hiasan bintang serupa permata agar menyerupai langit Alba, Coda akhirnya mendapatkan ide untuk dongeng pengantar tidurnya.

"Ceritakan lagi tentang Kakak--eh, Pangeran Carnelian, Ibu!"

***

Ketika Sardinia keluar dari ruang takhta dengan perasaan campur aduk, pangeran sulung Lama berlarian mengejarnya. Langkah kaki bergema di sepanjang koridor lengang, hingga pada akhirnya terhenti ketika Orion memutuskan untuk berseru kepada Sardinia yang tak memedulikannya sejak tadi. "Kenapa kau berkata seperti itu? Kenapa kau lari dari masalahmu? Kenapa kau meninggalkan adikmu seorang diri?"

"Kukira dengan perbedaan usia, kau memiliki pemikiran yang lebih dewasa, Pangeran Orion," Sardinia berbalik, tersenyum tipis, "tetapi sayang sekali aku harus kecewa."

Urat-urat pembuluh darah di leher Orion menegang. Mencoba menahan emosi yang tersulut, Orion menimpali ejekan itu dengan berusaha tenang. "Aku hanya menyuarakan apa yang selama ini adikmu ingin katakan padamu, tetapi ia tak bisa. Bahkan hari ini, kau menolak bertemu dengannya, bukan? Tidakkah itu keterlaluan?"

"Aku melakukannya bukan tanpa alasan, Pangeran Orion," balas Sardinia tenang, "Yang Mulia Raja dan Ratu tidak sekalipun mempertanyakan hal itu. Sungguh membahagiakan memiliki mereka yang amat mengerti."

Bohong kalau Orion tidak paham. Orion bahkan amat sadar kalau penolakan Sardinia untuk beratatap muka dengan saudaranya adalah bentuk pertahanan  agar tidak kalah dari emosi diri sendiri. Orion mengerti, tetapi ia tak bisa mengabaikan perasaan Erin yang telah tinggal bersamanya beberapa waktu belakangan. Betapa anak itu merindukan kakaknya, dan kekesalan Orion bahwa ia tak bisa melakukan apa-apa untuk membuat keadaan lebih baik.

"Kau pikir, melihatnya menangis setiap malam dengan mengucap namamu adalah hal mudah?" Kata-kata itu terucap pelan dengan intonasi tajam. Meluncur begitu saja dari lisan tanpa ia pilih kembali kata-kata yang mungkin bisa menyakiti seorang bocah yang lima tahun lebih muda darinya itu.

Sardinia terdiam. Ia merasa lelah. Usianya yang terlampau muda seharusnya belum terbebankan masalah seperti ini. Ia bahkan belum sepenuhnya mengerti apa yang barusan menimpanya. Pemberontakan, ayah dan ibunya yang meninggal, dan takhta. Satu-satunya yang ia mengerti adalah keharusan untuk melindungi saudara kembarnya yang lemah, dan pilihan terbaik diantara pilihan-pilihan lain adalah menitipkannya pada sekutu lama Sirena. Sardinia baru bisa bernapas lega ketika Ratu Lama menyambut keinginannya dengan senyum lembut yang ia rindukan, tetapi mengapa putranya yang angkuh harus ikut campur dan menanyakan hal semacam itu tanpa memikirkan perasaannya?

"Apa dia ... merepotkanmu?"

Orion menelan ludah. Tatapan terluka Sardinia menamparnya. Bukan, bukan seperti itu. Orion bahkan merasa senang memiliki anggota keluarga baru yang selalu ia dambakan, seorang adik kecil yang penurut dan manis! Tetapi, dibanding berada di sini dan membuat anak itu menderita, Orion lebih baik mengabulkan keinginan terpendam Erin untuk tetap tinggal bersama keluarganya--

"Kalau begitu, bisakah aku memohon satu hal lagi padamu?" Sardinia membungkukkan badan hingga sembilan puluh derajat, membuat Orion terkejut pasalnya ia mengira Sardinia memiliki perangai sekeras batu, serta harga diri setinggi langit.

Sardinia menggigit bibir kala perih mulai merayapi hatinya, dan panas mulai mengakar ke matanya. "Tolong katakan padanya ... bahwa aku telah meninggalkannya dan tak akan kembali. Agar dia tak lagi menungguku, agar dia tak lagi memanggil namaku dalam tangis ketika tidur, katakan padanya...."

Sardinia tak kuasa menahan airmatanya berlesakan keluar, pun menahan isak yang menyeruak keluar dari tenggorokan.

"... agar melupakan kakaknya yang pengecut,  yang tak mau bertemu pagi dengannya. Katakan ... bahwa keluarga barunya adalah Lama, dan saudara yang akan selalu melindunginya adalah Pangeran Orion...."

***

"Adik kecil, boleh kutemani duduk di sini?"

Coda  yang sedari tadi sibuk melamun seraya memainkan ekor di pangkuan harus mendongak tatkala mendengar suara ringan sekaligus pekat itu menyapa telinganya.

"Aah, tentu saja." Coda menggeser bokongnya ke tepi kursi taman yang terbuat dari kayu itu, memberikan tempat yang kiranya cukup untuk seorang pemuda berjubah gelap dengan senyum menawan yang tiba-tiba datang.

"Sedang apa kau di sini?" Tanya pemuda itu, "menunggu orangtuamu pulang, ya?"

Coda kecil mengangguk-angguk, "Ibuku sedang pergi ke Alba."

"Wah, itu jauh sekali. Pasti dia akan pulang membawa oleh-oleh. Kudengar, banyak sekali pernak-pernik yang bagus di sana, bukan?"

Coda mengangguk riang. Senang rasanya menemukan seseorang yang memiliki ketertarikan yang sama dengannya. "Juga lampu-lampu jalanan yang menyala berwarna-warni di malam hari! Juga festival seribu lentera di Malam Abadi!"

"Benar sekali. Rupanya, kau tahu banyak tentang Alba. Ibumu yang menceritakannya padamu, ya?" Pemuda itu mengacak surai Coda dengan lembut. Mereka lalu berbincang tentang banyak hal. Alba dan segala pesonanya, hingga dongeng mengenai penciptaan keenam peradaban. Senyum ramah sama sekali tak pernah lepas dari wajahnya. Matanya yang jernih memancarkan kebaikan tanpa pamrih ketika Coda menatapnya. Semakin lama Coda melihat ke dalam iris magenta itu, semakin ringan perasaan yang membebani hatinya. Tatkala sang pemuda kembali berkata, Coda merasakan dirinya terbuai dalam kehangatan yang menenangkan.

"Jangan pernah berhenti berharap. Suatu hari nanti, kau pasti akan mendapatkan senyum kakakmu. Jangan pernah menyerah, dan jangan biarkan harapan itu mati di hatimu."

.

.

.

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Throne of StellarWhere stories live. Discover now