3 | Hope was Die

667 102 68
                                    

BAHU ORION menegang. Di depan meja kerjanya, berdiri seorang yang memakai tunik putih longgar dengan tudung indigo gelap menutup setengah wajah. Lewat amulet batu berwarna merah yang tersemat di pangkal kerah, Orion langsung tahu bahwa orang yang datang kepadanya adalah tamu yang sudah ia tunggu. Teman lamanya, salah satu orang-orang suci yang disakralkan di Eterno.

"Maafkan aku, Orion."

Sosok itu terus memandangi meja, tidak berniat mengangkat wajah. Tetapi, posisi itu sudah cukup jelas bagi Orion untuk tahu bahwa dia sedang berduka. Sekilas tampak matanya yang kemerahan seperti habis menangis lama, juga suara yang lemah seakan keinginan untuk hidup merosot ke titik paling rendah. Kalau bukan karena harus menyampaikan suatu hal yang penting, Orion yakin tangis temannya sudah tumpah sejak tadi.

"Apa yang terjadi?" Pangeran Lama itu mencoba tenang meski puluhan prasangka buruk telah menghampiri pikiran. Ia berdeham, barangkali obrolan ringan bisa mencarikan suasana yang--entah mengapa--terasa tegang. "Kau datang sendiri? Erin sangat senang begitu kubilang kalian akan datang, kurasa mereka bisa cocok bersama. Tetapi sepertinya, pertemuan itu tidak bisa terjadi kali ini."

Melihat temannya yang tak kunjung menjawab, Orion akhirnya tahu kalau ia sudah salah bicara.

"Maafkan aku," Sekali lagi, sosok itu meminta maaf. Kali ini ia menunduk dan menyebabkan tudungnya melorot ke belakang kepala, menampilkan helai rambut-rambut halus sewarna salju yang keruh. "Tidak seharusnya aku melibatkanmu, pun orang-orang lain. Bagaimana pun, aku hanya satu-satunya keluarganya. Aku hanya sedang kebingungan di sini. Orion ... aku sedang tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin ini adalah kali terakhir kita bertemu, maka dari itu aku akan memberitahumu semua yang kuketahui. Setelah itu, aku akan--"

"Tunggu, Yuki." Potong pemuda bersurai perak itu, "Ada apa? Tenangkan dirimu, lalu mulai bicara." Orion dapat menangkap beberapa poin yang coba Yuki sampaikan. Satu, sesuatu terjadi pada Momo--anak muda ceria seumuran Erin yang selalu mengekori Yuki kemana saja--dan tentunya kejadian itu membuat Yuki amat terpukul. Dua, Yuki mengetahui suatu rahasia besar yang mengerikan, yang membuatnya harus menghilang dalam beberapa saat.

Yuki menghela napas panjang. Nadir Eterno itu memejamkan mata, ekspresi pedih tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya.

"Orion, aku--" Yuki menggelengkan kepala, tangannya ia gunakan untuk memijit kening yang terasa berdenyut sekaligus menghalangi pandangan Orion atas kedua iris kelabunya yang mulai digenangi air mata, pun suaranya yang seakan menolak keluar dari tenggorokan memperkeruh suasana sekaligus memperjelas keadaannya yang sebenarnya, "Maaf Orion, aku--"

Tangan Orion terulur, memegang kedua bahu Yuki yang mulai bergetar. "Katakanlah," kata Orion, "katakanlah padaku."

Ada hal-hal yang bahkan seorang yang dinilai kuat pun tidak dapat menahannya seorang diri. Pada akhirnya, isakan itu keluar, tanda bahwa apa yang menimpanya adalah masalah yang begitu besar. Orion yang biasa melihat senyum lembut Yuki, Sang Pengawas Eterno, bahkan tak berkutik. Tangannya masih bertengger di kedua bahu temannya yang bergetar, mencoba memberi kekuatan. Namun, ketika Yuki mengucapkan kalimat itu, jiwa Orion serasa meluruh ke perut bumi, layaknya besi yang meleleh oleh panasnya bara.

"Momo sudah tiada, Orion. Momo sudah pergi."

***

Fang sangka, Coda akan memperlakukannya dengan berbeda setelah ia beberkan sendiri rahasia yang telah ia simpan selama bertahun-tahun lamanya. Tetapi, Coda tetaplah Coda yang Fang kenal, anak manis yang cerdas dan cenderung pendiam. Mungkin saja, anak bersurai biru gelap itu tengah menyatukan benang-benang ingatan agar semua keping peristiwa yang bisa menjelaskan pernyataan tadi menjadi lengkap. Coda hanya bisa menerima alasan rasional, dan apa yang tengah Fang alami pasti akan dianggap sebuah kekonyolan.

Throne of StellarWhere stories live. Discover now