4 | The Wounded Country

575 93 31
                                    

ETERNO, NEGERI yang terluka.

Itulah yang dapat Coda simpulkan mengenai keadaan yang ia lihat di depan matanya. Gurun pasir  luas dengan terik membakar ubun-ubun, ratusan karavan yang terparkir di lahan khusus terminal kapal terbang yang beroperasi setengah mati. Hiruk pikuk yang satu ini lebih Coda tidak sukai dibanding ramainya pelabuhan Bestia. Yang terdengar sejak menginjakkan kaki di ranah gersang ini hanyalah perbincangan bernada putus asa, tentang dimana lagi mereka akan tinggal bila perang kembali meletus di sini, tentang kegelisahan apakah bangsa lain akan dapat menerima mereka sebagai korban perang, dan keluhan serupa.

Coda merapatkan tudung hingga setengah wajahnya tertutup bayangan. Terik yang sangat telah mulai terasa membakar kulit pipinya. Terbiasa hidup di Bestia yang beriklim tropis yang lebih lembap dari bintang-bintang lain, cuaca di Eterno adalah yang paling tidak bisa ia tolerir. Jika bukan  karena jubah biru gelap pemberian Fang dengan batu rubi tersemat di depan dada sebagai pengait dan pelindung panas, Coda yakin dia sudah terkapar dehidrasi sekarang.

Tadi, anak itu diminta Fang untuk menemani sang kapten menemui tamunya di terminal angkasa. Tetapi, sesuatu yang mendesak terjadi dan Coda tidak memiliki hak untuk ikut duduk di kursi rapat. Makanya, ia memilih untuk berjalan-jalan, melihat sekeliling sekaligus mencoba mengenal Eterno lebih dalam.

Terdengar samar suara petikan alat musik tradisional. Dibalik tudung, telinga Coda sedikit terangkat sebagai respons atas bunyi itu. Sebuah alunan mengalun, memainkan lantunan melodi.

"Pertunjukannya sudah dimulai?" Seorang pemuda tak jauh dari Coda tengah bercakap, "ah sial! Aku ingin menontonnya tapi pekerjaan ini belum selesai!"

"Ibu! Pertunjukannya sudah dimulai! Ayo bergegas!" Suara lain berasal dari seorang gadis kecil bertudung hijau gelap yang berlarian melintasi kerumunan. Tangan gadis itu menggandeng sang ibu, wanita muda yang membawa tas besar di punggung. Mereka menembus kerumunan yang mulai bergerak ke arah yang sama. Menuju gedung opera besar yang tersembunyi di balik bangunan tinggi terminal angkasa. Kalau saja tidak mengikuti arus, Coda tidak akan tahu ada gedung itu di sana.

Setibanya di sana, Coda langsung disuguhkan oleh tampilan sebuah gedung berbentuk seperti tempurung kura-kura yang tampak terbuat dari granit putih keruh. Panas matahari terpantul di permukaan atapnya sehingga membuat gedung itu begitu menyilaukan untuk dilihat. Ada belasan pintu masuk yang tersebar diantara pilar-pilar besar yang menyangga atap tempurung itu. Coda menelusup diantara kerumunan, ikut masuk lewat salah satu pintu yang paling dekat dengan arah datang. Sesampainya di dalam, pemuda Bestia itu disuguhkan oleh sebuah panggung besar yang berada di lantai dasar, sedangkan kursi penonton berderet melingkar serupa tangga hingga ke atas. Beruntung, ada sebuah kursi kosong tak jauh dari sana, di sebelah seorang pria  dengan surai biru tua dengan jubah senada menutup kepala yang sudah duduk tenang, Coda pun mengambil tempat itu untuk dirinya.

"Ini adalah pertunjukan  terakhir yang akan diadakan di sini." Tanpa Coda minta, pria  yang duduk di sebelahnya mulai berbicara. "Selanjutnya, mereka tidak akan mempertunjukkan apa pun lagi."

"Kalau boleh kutahu, Tuan, pertunjukan ini... Pertunjukan apa?"

Pria itu menoleh, menyipitkan . Ketika melihat telinga Coda yang sedikit terlihat dari lindungan jubah, ia berkata, "Ah, rupanya orang-orang Bestia."

Coda salah tingkah, ia membenahi tudungnya dengan kikuk, "Begitulah, Tuan."

Sebelum mereka berdua sempat bercakap kembali, orkestra sederhana dari alat musik tradisional Eterno tiba-tiba terhenti. Seakan waktu juga terjeda secara paksa, tidak ada satu pun suara dari kerumunan. Hening, tetapi bukan hening yang didominasi tegang seperti kedamaian sebelum badai. Senyap, benar-benar sunyi hingga Coda merinding tentang betapa orang-orang Eterno menghayati pertunjukan ini.

Throne of StellarWhere stories live. Discover now