Prolog

1K 121 35
                                    

Cahaya dari bintang-bintang yang menghias langit, memantul melalui aula beratap kaca. Bayangannya terefleksi ke dinding-dinding yang terbuat dari batu granit putih yang dipoles hingga mengilat, membuat ruang luas itu terlihat lebih bercahaya daripada langit malam. Di tengah ruang, terdapat altar tinggi bertatahkan permata biru muda dan indigo lembut yang diasah langsung dari tambang batu mulia terbaik Alba, permata itu menghiasi tepian Altar yang terukir sulur-sulur yang mengingatkan akan rindangnya hutan Bestia, menjadi inti dari hiasan itu. Di atas altar, terpasang alas berupa lempengan besi hitam yang memesona, besi yang ditempa oleh pandai besi terbaik Lama.

Dengan altar menjadi penengah, berdiri dua orang dengan raut serius yang tengah berbicara. Suara mereka terpantulkan oleh ruang yang sebagian besar terisi oleh udara. Menggema, membuat emosi yang tersampaikan menjadi lebih terasa.

"Kau tidak harus berkorban." Seorang pria bersurai pirang menatap khawatir, "kita bisa menjaganya bersama--tidak, kau akan menjaganya, dan aku akan menjagamu."

Sembari menyentuhkan ibujari pada lempengan besi hitam Lama di atas altar, pria yang satunya lagi, yang memiliki netra indigo lembut tersenyum lemah. "Tidak, aku tidak bisa membuatmu ikut berkorban. Setidaknya dengan ini ... dengan ini, bila suatu hari nanti, ketika kelimanya telah berhasil dikuasai, ia takkan dengan mudah mengambil yang keenam."

"Tapi--"

"Tak apa, Capella," Senyum lembut itu merekah, "Mistero akan melindungi dirinya sendiri, Mistero akan melindungi kita."

"Kumohon, pasti ada cara lain--" Si pirang menggeleng. Tidak, dia tidak akan pernah menyetujui hal ini. Tidak dengan tuannya yang harus mengorbankan diri. Ia ingin berteriak, mengapa kau tidak pernah memikirkan dirimu sendiri? Mengapa kau terusa memikirkan semesta yang bahkan tidak mengetahui siapa dirimu?

"Ini adalah yang terbaik, Capella." Lagi, si pemilik gelar 'Sang Penjaga' itu telah mengeluarkan titah dengan tegas. Ia telah mengisyaratkan bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat, bahkan hanya untuk sekedar saran. Hal ini harus dilaksanakan, segera, karena para bintang mulai gelisah. Tidak akan ada yang pernah tahu rasanya, hanya Sang Penjaga yang bisa mengetahuinya.

"Aku sudah berkali-kali mengatakannya, bukan?" Kini, keduanya mendongak, menatap bintang-bintang yang bertabur di kegelapan langit malam. Merasakan kedamaian, sekaligus kegelisahan yang tiba-tiba menelusup ketika kata-kata penutup dari Sang Penjaga diucapkan, "Apa yang kurasakan tidak pernah sepadan dengan takdir semua makhluk di semesta."

Capella menatap sendu.

Bisakah ... bisakah aku bersikap  sedikit lebih egois? Bukan untukku, tak pernah untukku, tetapi untuk dirinya.

.

.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Throne of StellarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang