P R O L O G

106K 7.3K 377
                                    


Affan Lazuar Sharim


Aku tidak pernah bermimpi memiliki hidup sempurna. Karena kutahu, dunia ini penuh intriks cerita. Selayaknya kisah yang terjadi antara Rama, Shinta juga Rahwana. Ketika seluruh dunia menyanjung Rama sebagai pemilik cinta tanpa celah. Perhatianku justru terpaku pada Rahwana yang bermuram durja.

Sang raksasa, justru yang paling setia.

Ia jatuh cinta pada Dewi Shinta tanpa mengenal lelah. Merasa tak masalah, saat pujaannya menerima pinangan pria yang bukan dirinya. Namun selayaknya pria, Rahwana pun gelap mata. Ia menculik Shinta demi menuntaskan debar ribut di dada. Ia simpan permaisuri jiwanya dalam istananya yang indah.

Tak ingin menyentuh karena tidak mau sang jelita terkena noda. Rahwana tetap bahagia memandangnya diam-diam, mencintainya kian dalam. Tapi bahagianya itu tak bertahan lama. Nyaris sekejap sampai Rama menemukan keberadaan ratu yang ia idam-idamkan. Namun tak masalah, asal Shinta bahagia, Rahwana akan melepaskannya.

Seluar biasa itulah cinta yang aku percaya.

Melepaskan orang yang dicinta demi membuatnya bahagia walau kita bukanlah alasannya.

Jadi, ketika titah dari keluarga memintaku menikah. Aku tak punya masalah. Telah kuselesaikan semua asmara agar tak menyisahkan cinta dikemudian hari yang menyiksa.

"Fan, Opa hanya ingin yang terbaik dari kamu. Anak sulung itu, tolok ukur keberhasilan untuk adik-adiknya. Jalani semua yang ada di depan mata. Nurut sama Opa."

Dan aku mengangguk patuh.

Namun di sebelah, papa meremas bahuku demi menghaturkan sesal.

Ah, papa, tenang saja. Aku pasti akan sekuat baja.

"Ini tradisi. Tapi, papamu membangkang. Makanya, dia nggak Opa kasih saham di perusahaan. Kamu jangan seperti papamu, Fan. Kalau adik-adikmu yang nggak nurut, nggak masalah. Opa nggak mau urus. Sekali lagi, ini soal kamu, Fan. Denger, omongan Opa 'kan?"

Jadi, apalagi yang bisa kulakukan selain mengangguk?

Bermula dari menyanjung tiap anak pertama yang lahir dari satu keluarga, tanggung jawab berengsek ini pun bermula.

Putra mahkota, begitulah orang-orang sekarang menyebutkannya. Dan dalam kerajaan bisnis kakek ini, masing-masing dari keempat putranya, akan menyerahkan anak sulung mereka agar didik dengan caranya. Mengikuti semua pola pemikirannya, bahkan turut melaksanakan tradisi menikah dengan yang ia pilih sebagai pengikat sebuah mitra.

Ah, iya, dalam dunia kakek. Menikah merupakan tradisi. Bukan takdir Tuhan karena debar jantung yang menggila mengenali belahan jiwanya. Tenang, kakek tak semurah hati itu. Tetapi aku bukan yang pertama, aku berada dalam urutan ketiga sebagai cucu yang akan ia lempar pada pasar saham berkedok rumah tangga.

Menjadi sang sulung dari tiga orang bersaudara. Tak akan kubiarkan adik-adikku menerima kediktaktoran ini. Cukup diriku saja, dan itu pun sudah membuat papa dan mama bermandi air mata.

Katanya, mereka tak tega melihat masa depanku terenggut paksa oleh ego kakek yang setinggi Himalaya. Namun aku tak masalah, tak bahagia pun tak apa. Asal kedua orangtuaku tak terusik mendengar ragam sindiran karena berhasil melahirkan pembangkang jilid kesekian dalam keluarga.

"Sepupumu yang udah pada menikah, kamu lihat tuh. Bahagia-bahagia 'kan, mereka?"

Kuikuti arah pandang kakek, dan ketika mataku bersitatap dengan Tama—Abang sepupuku—senyum miris kuhadiahi untuknya. Namun si berengsek itu justru memberi seringai, menyuruhku tutup mulut oleh ketidaksetiaannya di belakang sang istri.

Bening Where stories live. Discover now