3

141 10 1
                                    

Seperti biasa, para murid kelas 11 IPA langsung keluar kelasnya setelah mendengar suara bel yang berbunyi lantang. Kirana masih membereskan buku-bukunya saat seorang teman kelasnya memanggil dari arah luar.

“Kirana! Lo dicariin nih!” teriak seorang cowok dari arah luar kelas mereka.

Dengan tergesa-gesa, Kirana langsung menyenggot tasnya dan berjalan keluar kelas. Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok cowok dengan rambut acak-acakannya tengah berdiri di sana.

“Ngapain?” tanya Kirana pelan, karena tidak nyaman dengan mata penasaran murid lain yang berjalan melewati mereka.

“Ikut gue pulang,” ucap Rian sambil menampilkan senyumnya.

“Rina mana?” tanya cewek itu sekali lagi karena tidak melihat keberadaan adik kembar Rian.

“Dia sakit tadi, jadi pulang duluan,”

“Terus ngapain gue ikut pulang ke rumah lo kalo Rinanya aja sakit?” tanya Kirana sambil sedikit menaikkan suaranya karena terpancing emosi.

“Heh ini anak tumben lancar banget ngomongnya, gue anterin lo pulang, tadi pagi kan bareng juga,” jelas Rian seraya memutar bola matanya.

Dengan sangat terpaksa Kirana mengiyakan ajakan cowok tersebut. Tanpa pikir panjang Rian langsung meraih tangan Kirana dan membawanya ke tempat parkir.

Kirana yang merasa tidak nyaman mecoba melepaskan tangannya, “Gak usah pegang-pegang Tra,” desis Kirana.

Rian meghentikan langkahnya, membuat Kirana hampir saja menabrak bahu lebar Rian jika saja cewek itu tidak dengan cepat mengontrol kakinya.

“Nama gue Rian, jangan panggil PUTRA,” tegas cowok itu.

“Oke, tapi lepas deh, bukan muhrim tau!” kesal Kirana yang tangannya masih saja berada di genggaman Rian.

Tak pelak perkatan Kirana membuat Rian melpaskan tawanya, “Gaya lo Ra! Dulu juga kita sering kayak gini,”

Dengan kesal Kirana menghentakkan tangannya hingga terlepas dari genggaman Rian, “Ya itu kan dulu, gue bukan anak kecil lagi!” kesal Kirana.

“Ngerti kan bedanya dulu sama sekarang?” tanya cewek itu sinis.

Rian hanya menghela napasnya dengan ucapan gadis itu. Ya, gadis itu memang tidak berubah sejak dulu, paras serta wataknya masih sama dengan Kirana yang ada di ingatan Rian, Kirana yang selalu bisa membawa senyumnya kembali saat menghilang.

“Gak usah ngambek, yuk pulang,” ucap Rian sambil membuka pintu kursi penumpang  depan mobilnya.

Sudah hampir setengah jam mobil yaang merekaa tumpangi tejebak dalam macetnya ibu kota, membuat siapa saja pasti merasa kesal dengan keadaaan tersebut. Tak pelak dengan Kirana, gadis yang sedari tadi duduk disebelah kursi pengemudi itu hanya diam seribu bahasa.

“Ra, udahan dong marahnya, oke, gue ngaku salah,” ucap Rian mencoba mencairkan suasana diantara mereka.

Rian menolehkan kepala menuju Kirana, namun gadis itu telihat tengah menatap jendela dan masih saja diam tanpa mengubris pembicaraan Rian.

“Lo mau apa? Gue beliin deh,”

“Atau lo mau jalan?”

“PR juga bisa gue kerjain,”

“Atau antar jemput lo tiap hari juga boleh,”

Rian terus saja mengocehkan hal-hal yang bahkan Kirana sendiri tidak habis pikir dengan hal tersebut.

“Turun di sini aja,” ucap Kirana saat mereka berada di persimpangan menuju ke rumahnya.
Rian sontak menolehkan kepalanya, karena sedari tadi hanya dia sendiri yang berbicara tanpa ada ketertarikan dari lawan bicaranya. Dengan segera Rian menepikan mobilnya, karena melawan perkataan Kirana saat dia tengah emosi sama saja dengan memberikan pancingan emosi lain kepada gadis itu.

“Ehm, lo gak marah lagi kan?” tanya Rian hati-hati saat gadis itu tengah sibuk membuka sabuk pengamannya.

“Hm,” hanya itu jawaban yang terlontar, namun bagi Rian yang sudah memahaami dengan jelas Kirana maka itu adalah “iya”.

Kirana memasuki rumahnya dengan langkah senang, suasana hatinya memang cukup senang setelah sedikit menjahili sahabat lamanya. Dengan segera Kirana langsung menuju ke kamarnya. Di rumah ini memang hanya ada Kirana seorang diri, kedua orangtuanya berpisah saat Kirana berusia delapan tahun. Kirana tinggal bersama sang ayah, yang akan terlihat di rumah ini hanya saat sarapan, ya, karena pekerjaan membuat ayahnya harus lebih sering berada di kantor daripada di rumah. Oleh karena itu kehadiran Bi Ratih, sebagai asisten rumah tangga membuat Kirana sedikit lebih nyaman karena tidak harus sendirian di rumah ini.

Kirana tersentak di meja belajarnya saat mendengar notifikasi di ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan singkat masuk. Dengan segera gadis itu menuutup buku yang tengah di bacanya dan membuka isi pesan tersebut.

Adrian Wijaya
Besok jangan telat.

Tanpa ragu Kirana langsung membalas pesan tersebut.

Kirana
??

Adrian Wijaya
Gue jemput.
Kan motor lo masih di rumah gue

Kirana
Gue sendiri aja

Adrian Wijaya
Kenapa?

Kirana
Gue sendiri aja

Adrian Wijaya
Oke.

Setelah balasan tersebut tidak ada lagi pesan singkat lain dari Rian, membuat Kirana menghelas napas lega. Dengan segera Kirana menyelesaikan tugas rumahnya dan bersiap untuk pergi ke pulau kapuk, berharap bisa menghilangkan bayang-bayang cowok itu.

~ to be continued

K I R AWhere stories live. Discover now