Keempat santriwati itu mendengarkan dengan serius.

"Di sana mahasiswanya rata-rata mandiri. Jarang tuh sepulang kuliah terus ngumpul di kantin gosipin orang. Mereka biasanya sambil kerja juga, jadi setelah kuliah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Temen akrabku malah banyakan bukan dari kampus, tapi teman main. Aku dulu tinggal di rumah aunty-ku. Itu alasan ortu nguliahin aku di sana karena ada saudara yang bisa ngawasin. Dan mama sama papa juga berkeyakinan kalau kuliah di Amerika itu bagus pendidikannya, mentereng gitu bisa pamer sama orang lain, kayak kebanggaan sendiri buat mereka."

"Tapi Teh, emang nggak takut sama pergaulan di sana? Yang aku denger, negara sana kan bebas." Lia mengernyitkan alis.

Irene tertawa kecil.
"Kalau soal itu sebenarnya tergantung masing-masing orang. Kalau kalian bisa jaga diri dari pergaulan yang negatif ya akan terjaga. Sama aja kayak di sini, orang punya pilihan mau berteman sama siapa, mau main di night club apa di Masjid, mau stay di jalan lurus, apa mau berbelok. Kalian jangan lihat aku yang nggak jelas gini. Aku akui, aku emang rada bandel, kadang suka ke club meski aku nggak pernah mabok juga. Tapi mahasiswa Indonesia di sana banyak yang baik-baik, yang tetap religius meski tinggal di negara di mana muslim itu minoritas, yang bener-bener serius kuliah, banyak yang sambil kerja."

Keempat santriwati itu manggut-manggut.

"Eh Teteh Irene kayaknya kalau pakai kerudung kelihatan lebih cantik, deh." Santriwati bernama Neli, asal Cilacap menelisik wajah Irene yang sebenarnya ada sisi cute-nya. Awal ia melihat Irene, mengingatkannya pada oppa-oppa Korea, cute.

Irene tersentak. Sama sekali tak ada di benaknya untuk mengenakan kerudung.

"Iya, Teh, cobain pakai, ya. Aku yang dandanin." Lia mengambil satu kerudung dari lemarinya.

"Duh aduh... Aku nggak mau.... Aku nggak pantes lah pakai kerudung. Aku masih amburadul gini disuruh pakai kerudung."

Lia tak peduli. Ia tetap saja memakaikan kerudung di kepala Irene. Neli, Dina, dan Salsa ikut mendandani Irene.

"Udah nurut aja, Teh. Lagian berjilbab itu wajib buat muslimah, Teh. Mau dia akhlaknya baik atau buruk sekalipun. Mau dia santri, guru, dokter, bahkan wanita penghibur sekalipun, kalau udah baligh semuanya wajib berjilbab." Lia menjelaskan sembari merapikan kerudung yang dikenakan Irene.

"Aku pikir itu cuma pilihan, artinya nggak pakai kerudung juga nggak apa-apa." Irene menatap bayangannya di cermin. Keren juga... Jadi kayak perempuan, pekiknya dalam hati.

Neli tersenyum, "Berjilbab itu kewajiban, sedang keputusan kita untuk memakai jilbab atau tidak itu pilihan, artinya setiap orang punya hak untuk memilih mau menjalankan kewajibannya menutup aurat atau tidak. Namun hukum berjilbab sudah jelas wajib. Kalau kita memilih untuk nggak pakai jilbab ya kita harus menanggung risikonya. Teteh tahu kan arti wajib itu apa? Dilaksanakan dapat pahala, jika ditinggalkan berdosa. Kalau kita ingin selamat, pilih untuk menjalankan kewajiban."

"Betul apa yang dibilang Neli. Sama kayak sholat lima waktu, itu wajib hukumnya. Kalau ditinggalkan berdosa, kan? Kalau Lia tiap habis sholat kadang merenung, hidup ini tujuannya apa, sih? Masa iya dari sekian nikmat, rezeki, dan kasih sayang yang Allah berikan selama kita bernapas, untuk menjalankan perintahnya aja kita berat? Kita dibesarkan, dibiayain sekolah sama orang tua, kita ingin kan membalas kebaikan mereka. Kita juga dididik guru, ustadzah, kita juga ingin membalas kebaikan mereka. Sedang yang menciptakan orang tua, guru, dan kita adalah Allah. Yang ngasih kesehatan sama orang tua, guru, dan kita juga Allah. Yang menciptakan bumi, menjaga bumi dari benturan dengan benda langit lain, yang mengatur peredaran benda-benda langit juga Allah, coba kalau benda langit saling tabrakan? Kita bakalan hancur. Betapa Allah sayang sama kita... Masa iya kita nggak tersentuh sedikitpun untuk menjalankan kewajiban kita?"

Nikah Yuk, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang