23. Bye, Aura.

5.7K 881 144
                                    

Hai, siap membaca?

Jangan lupa tinggalkan jejak gengs...

Mirelen[part 23]

•••

Langkah kaki Mirele membuat pandangan semua orang yang ada di koridor terarah ke arahnya. Mirele melangkah tanpa peduli seluruh tatapan orang-orang, gadis itu menghentikan langkahnya begitu kakinya sudah berpijak di depan sebuah ruangan.

Bimbingan konseling.

Pandangannya menunduk, menatap ke arah ponselnya sebentar sebelum tangannya memegang handle pintu dan memutarnya. “Permisi buk,”

Pandangan seorang guru dan tiga orang siswi di hadapan guru itu langsung terarah ke arah Mirele yang memasuki ruangan.

“Ya El, silahkan duduk.”

Aura, Sinta, dan Gege menatap benci Mirele, sementara yang ditatap hanya tersenyum santai.

Mirele duduk di kursi samping, gadis itu meletakkan ponselnya di atas meja Bu Tutik.

“Aura, jelaskan.”

Aura menatap Mirele sekali lagi, gadis itu kemudian menghadap Bu Tutik, “Semua yang Gibran dan Fazan omongin kemarin itu bohong Bu. Saya gak pernah ngebully Mirele sama sekali, kami bertiga kemarin ada di kelas, tiba-tiba diseret kak Fazan gitu aja kesini. Ibu paham kan maksud saya? Udah pasti mereka sekongkol untuk ngejebak saya.”

Gege dan Sinta mengangguk, tanda mereka berdua menyetujui perkataan Aura.

Bu Tutik melepas kacamatanya. Guru itu kemudian memandang ke arah Mirele. “Jujur sama saya, apa benar kamu berniat menjebak Aura?”

Mirele menatap Bu Tutik tenang. “Apa gunanya saya menjebak mereka? Saya masih punya urusan yang lebih penting dibanding cari masalah sama mereka.”

“Apa bukti lo kalau kita-kita bully lo hah!?” Gege berteriak.

“DIAM! Belum waktunya kamu bicara!”

Gege langsung bungkam, gadis itu mencak kesal.

“Kalau saya tunjukin ini ibu bakal percaya?” Mirele mengangkat lengannya yang ada luka gores yang cukup parah disana.

“Halah! Lo cuma manipulasi itu, mana akurat!” Sinta nyeletuk. “Gue juga bisa kali, tinggal lukain diri sendiri, trus bilang deh kalau gue di bully. Basi!”

“Bukan cuma tangan saya. Kaki saya diinjak sama mereka, trus rambut saya dijambak, dan pipi saya ditampar secara bergantian.”

Bu Tutik menghela nafas.

“Lo bener-bener ratu drama ya! Bagus banget cara lo ngarang cerita.”

“GUE BILANG GUE GAK BAKALAN SUDI BUANG-BUANG WAKTU BERHARGA GUE UNTUK NGARANG CERITA GAK JELAS KAYAK GINI!” Mirele terbawa emosi, gadis itu menatap Aura, Gege, dan Sinta tajam.

“Lo bertiga emang gak punya hati!”

“Mirele, jaga sopan santunmu!” Bu Tutik memberi peringatan. “Bukti yang kamu punya belum cukup akurat, ini bisa dimanipulasi.” Komentarnya.

“Kalau setiap orang berfikir seperti ibu disaat ada orang yang terkena korban bullying dan mereka hanya bisa menunjukkan bukti fisik tanpa bukti yang lainnya, sepertinya semua orang-orang kecil akan mati secara perlahan.” Mirele menjeda kalimatnya.

“Gimana kalau misalnya ada orang yang dianiaya tapi gak ada kamera pengawas disana, trus dia lapor polisi tapi pihak polisi tidak segera menangkap pelaku hanya karena bukti di fisik mereka saja yang jadi bukti. Ini gak adil bagi mereka,”

Mirélen [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt