33. Bara

4.4K 619 176
                                    

Mirelen[part 33]

***

Bara, hati hati.”

Sedikit saja jika dia tidak menghentikan laju kursi rodanya, sudah bisa dipastikan dia akan terjun bebas dari lantai teratas hingga jatuh ke bawah.

Pandangan itu seolah mati, tangannya yang masih berada di kedua roda pada kursi roda mengerat, tak ada yang tau apa yang dirasakan olehnya ketika mendengar teriakan melengking dari ibunya.

“Bara, mau kemana? Kamu hampir aja jatuh,”

Sang ibu membawa kursi roda itu menjauh, tidak lagi dekat pada ujung tangga, dielusnya kepala anaknya dengan helaan nafas lega. “Bara mau apa? minum?”

Bibir itu kelu, tangannya beralih menggapai tangan ibunya yang ada di atas kepalanya. “Bara capek ma,”

Ibunya hanya bisa terdiam kala setiap kata capek keluar dari mulut sang anak. Anjani nama mama Bara, wanita setengah baya itu menampilkan senyum tulus, walau ia tau, Bara tidak akan bisa melihat senyumnya sekalipun.

“Bara istirahat lagi ya? Udah malem, nanti mama bawain susu ke kamar.”

Tak ada anggukan, Anjani hanya bisa menghela nafas singkat, didorongnya kursi roda anaknya hingga menuju kamar.

“Nanti mama bawain makan sekalian, Bara mau makan apa?”

Bara menggeleng, “Bara mau tidur ma.”

“Iya sayang, tapi minum sama makan sedikit sebelum tidur ya? Kamu gak ada makan apapun dari sore.”

Bara mengangguk, pandangan kosong itu sering kali membuat Anjani menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga dengan baik anaknya. Menepis itu semua, Anjani berjalan keluar, menutup pintu kamar Bara setengah.

Ditemani keheningan dan suasana malam yang sunyi, Bara menjalankan kursi rodanya mendekati ranjang. Dia memang cacat, baik fisik maupun mental, kakinya sudah tak berguna dengan baik, begitupun matanya, Bara tak berguna, dan itu tidak akan pernah berubah, dan akan selamanya begitu.

Disisi lain...

Saat ini Mirele memandang ke luar jendela taksi yang ditumpanginya dengan pandangan kosong. Suasana malam yang ramai terasa sepi baginya. Tangannya meremas tali tas selempangnya dengan kuat, saat sebuah memori melintas dengan sendirinya dari kepalanya.

“Buang rokok itu atau gue laporin BK sekarang?”

Dengan memutar bola matanya jengah, gadis dengan baju sekolah putih-biru yang terkesan urakan itu melompat dari tebing tempatnya duduk. Dengan tampang songong, si gadis mendekati laki-laki berkacamata yang menegurnya tadi.

“Apa urusan lo kalau gue telen sekalipun ini rokok, ha!?” Kesalnya menatap si lelaki yang beberapa hari belakangan ini tak pernah absen merecoki hari-harinya dengan embel-embel menyuruhnya berhenti merokok.

“Lo kalau cupu gak usah ngajak-ngajak bisa kan?” Lanjut gadis itu kesal.

“Kita masih anak sekolah, lo gak kasian sama orang tua lo yang udah susah-susah sekolahin lo hingga sekarang?”

Mirélen [END]Where stories live. Discover now