Sembilan Belas

135 19 5
                                    


25 Jumadil Akhir 1441 H / Rabu, 19 Februari 2020
💗💗💗


Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, seseorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ngulang permintaannya, (namun) Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.”
(HR. Bukhari No. 6116)

****

Setelah pemakaman Nurul selesai dilaksanakan, kini keluarga Abdullah pulang ke rumah untuk mengadakan tahlilan di sana. Begitu juga dengan Khafa dan kedua orangtuanya ikut serta di sana. Sesuai dengan permintaan Abdullah, keluarga Khafa akan menginap di pesantren. Mengingat tahlilan akan di adakan pada malam hari dan Abdullah tidak akan membiarkan mereka pulang selarut malam ataupun menginap di hotel. Bagaimanapun, Abdullah telah menganggap Dino sebagai saudaranya.

“Syukur syukur anak itu tidak ada di sini,” ucap Seto pelan saat sudah berada di rumah. Walau suara Seto sangat pelan, tapi tetap saja di dengar oleh mereka semua.

“Dalam keadaan berduka kaya begini Abang malah bahas Anza. Anza tidak bersalah atas kematian Nurul.” Uli membela keponakannya di depan Seto, ia tidak menyukai ada orang yang menjelek-jelekan Anza seperti itu.

“Kamu tahu apa tentang anak itu? dia anak tidak berguna dan tidak pantas ada di sini. Dan kamu tahu, anak itu pembawah sial di keluarga ini. karena anak itu, kita kehilangan Ibu dan Nurul di waktu dekat.” ucap Seto dengan nada tinggi.

“Cukup, Bang. Cukup!!!” ucap Abdullah begitu marah. Awalnya ia membiarkan Seto membicarakan Anza sesuka hatinya, tapi ucapan Seto sungguh keterlaluan. Membuat Abdullah tidak tahan lagi dan tidak terima atas hinaan itu. dan tidak ada yang tahu jika Abdullah sudah kehilangan kesadaran atas semuanya.

Dulu, ia diam karena menghargai Seto sebagai anak tertua di keluarga ini. tapi, ia tidak akan tinggal diam sekarang. Sudah cukup ia mendengar semua hinaan dan cacian maki tentang putrinya dan ia tidak akan pernah memaafkan siapapun yang berani menghina putrinya.

Seto tidak pernah ada di posisi Abdullah. Yang Seto inginkan hanya harta semata. Dan Abdullah tahu itu, Seto membenci Anza karena Anza-lah yang banyak mewarisi harta kekayaan kedua orangtuanya. Dan paling Abdullah tidak sukai adalah Seto memanasi semua orang untuk membenci Anza.

“Kamu bentak Abang?” tanya Seto tidak kalah emosinya.

“Ya. Terus kenapa? Salah?” tanya balik Abdullah. Ia masih sama emosinya dengan Seto. Sementara Uli menenangkan Seto dan Dino menenangkan Abdullah.

“Kamu harus minta maaf sama Abang,” titah Seto.

“Yang seharusnya minta maaf itu Anda, bukan saya.” Ucap Abdullah menggunakan saya – kamu.

“Jadi kamu sudah kasar Abdullah?” tanya Seto marah sambil menunjuk ke arah Abdullah.

“Itu karena Anda berani menghina Anza.”

Seto bertepuk tangan sambil tertawa sinis. “Jadi anak itu yang telah membuat kamu membentak kakak kamu?” tanya Seto. “Wah, hebat.”

“Anza namanya. Fatma Khanza Ayu Abdullah.” Tegas Abdullah. Ia tidak suka Seto memanggil Anza dengan sebutan ‘anak itu’.

“Jangan berani-beraninya kamu menyebut anak itu dengan nama kamu, Abdullah. Dia bukan anak kamu, dia anak pembawa sial.” Teriak Seto.

“Cukup. saya sudah muak dengan hinaan ini! kalian semua yang tidak menyukai Anza, sebaiknya keluar dari rumah ini.” tunjuk Abdullah kepada orang-orang yang tidak menyukai Anza. Kemudian Abdullah menatap Seto dengan amarahnya. “Dan jangan lagi berani datang ke sini, karena saya tidak sudi melihat kalian.”

“Kamu ber-”

“Pintu keluarnya ada di sana!” tunjuk Abdullah ke arah pintu keluar. Keluarga Abdullah yang tidak menyukai Anza keluar begitu saja, hanya tersisa Uli beserta istri dan anaknya. Diusir oleh Abdullah secara tidak hormat, membuat mereka semakin membenci Anza.

Abdullah terduduk lemas saat sadar akan perlakuannya kepada saudaranya. Ia sadar melakukan kesalahan, tidak seharusnya ia mengusir semua orang. Bagaimanapun, mereka adalah keluarga Abdullah, hanya saja mereka telah dibutakan oleh dunia yang hanya sementara ini. Abdullah benar-benar tidak bisa menahan amarahnya, ia telah dikuasai oleh setan. Setelah ini ia akan berwuduh untuk meredahkan amarahnya.

Dari Athiyyah As-Sa’di  radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah berwudhu.” (HR. Abu Daud, No. 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Dan ada dalil meminta perlindungan diri pada Allah dari godaan setan.

Maka firman Allah “Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (Qs. Al-A’raf 200)

Sulaiman bin Shurod radhiyallahu’anhu berkata: “Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu perkataan sekitarnya dibacanya tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia membaca ‘A’udzubillahi minassyaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya. (HR Bukhori, no.3282)

Ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad, 1:239. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan lighairihi)

Dari Abu Dzarr radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud, no 4782. Al hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

***

Selesai acara tahlilannya, Khafa diajak Fildan ke kamar Anza untuk istirahat. Banyak hal yang dilalui Khafa hari ini dan banyak yang Khafa tahu tentang permasalahan keluarga Anza. Khafa merasa kasihan dengan Anza. Selama ini, Khafa selalu melihat Anza terlihat bahagia dan baik-baik saja. Tapi, Khafa salah duga, ternyata Anza selalu merasa tertekan dengan orang-orang yang selalu menghinanya.

Khafa jadi teringat tentang Anza yang selalu mengatakan bahwa dirinya sangat bahagia karena orang disekitarnya. Tapi, itu hanya kebohongan Anza. Jelas-jelas ia tidak baik-baik dan Khafa yakin Anza pasti tertekan selama ini. terlalu banyak sakit hati yang diterimanya dan semua Anza terima dengan lapang dada.

Kalau Khafa jadi Anza, mungkin Khafa tidak akan tinggal diam. Itu mengapa Khafa menyukai Anza. Anza tidak sama dengan orang lain. Anza kuat di luarnya saja, sementara batinnya sangat terluka.

Khafa berhenti di depan pintu kamar Anza. Saat membuka kamar Anza, yang Khafa lihat adalah foto Anza yang terpapang jelas di dinding kamarnya. kamar yang didominasi warna putih yang Khafa tahu adalah memang warna kesukaan sang pemiliknya.

Khafa memandang foto Anza kecil dengan dirinya yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Saat itu Khafa tersenyum melihatnya, ternyata Anza masih menyimpannya. Khafa pikir Anza telah membuangnya atau menyimpan di tempat lain yang tidak bisa temukan oleh orang lain.

“Nza, kamu ada di mana? Kapan kamu pulang?” tanya Khafa kepada foto Anza bersamanya. “Kita semua merindukanmu, Anza.”

***

Ps : Mohon maaf kalau masih banyak kata-kata atau kalimat yang tidak di mengerti.
Mohon kritikannya ya 🙏

Menuju Jalan-MuWhere stories live. Discover now