Sebelas

129 14 5
                                    


20 Jumadil Awal 1441 H / Rabu, 15 Januari 2020
💗💗💗

"Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku."
(QS. Yusuf: 86)

***

Kenapa semua ini harus terjadi kepada Anza secara bersamaan. Rasanya terlalu berat cobaan yang telah Tuhan berikan kepadanya. Ia tidak akan sanggup menghadapi semua cobaan ini. Bagaimana nantinya ia melanjutkan hidupnya yang begitu berat. Semua terasa sangat berbeda dan tidak ada lagi rasa yang sama seperti dulu. Kini, hanya ia sendiri.

"Uti, apa salah Anza? Kenapa Anza nggak pernah merasakan kebahagiaan seperti anak-anak di luar sana. Kenapa Uti, kenapa semua ini terjadi pada Anza. Apa Anza nggak akan pernah bisa hidup bahagia?"

Kini Anza sedang berada di makam Nenek dan Kakeknya. Anza tidak tahu harus kemana lagi. Saat ini Anza tidak punya siapa-siapa lagi. Semua orang sudah tidak mengharapkan Anza lagi.

"Anza," panggil seseorang sambil memegang Pundak Anza dari belakang. Sontak hal itu membuat Anza terkejut. Anza menangis saat tahu siapa yang memanggilnya.

"Mbak, Anza udah nggak di anggap lagi sama Abah. Abah udah nggak mau sama Anza," ucap Anza mengadu kepada Sela-sepupunya. Sela yang melihat itu langsung memeluk Anza dan menenangkannya. Ia tahu bagaimana perasaan Anza saat ini.

Sela begitu akrab dengan Anza. Ia tidak seperti dengan sepupu Anza lainnya. Keduanya begitu saling menyayangi layak saudara kandung. Dan keduanya juga selalu menyempatkan waktu liburan berkunjung ke Solo. Bahkan, Sela rela-rela menjemput Anza di Bandung untuk pergi ke Solo bersama-sama. Tapi, setelah Sela menikah dan harus tinggal di Sulawesi bersama suaminya. Semenjak itu, Anza jarang ke rumah neneknya karena Abdullah tidak akan mengizinkannya pergi ke Solo sendiri.

"Nggak, Dek. Paman nggak mungkin kaya gitu. Mungkin Paman hanya khawatir dengan kejadian tadi."

"Tapi, itu buktinya Mbak. Anza udah di usir sama Abah karena Anza bukan anak kandungnya," ucap Anza lirih. Tubuhnya begitu gemetar berada dipelukan Sela.

"Maafin, Mbak. Gara-gara Mbak kamu jadi dimarahin sama Paman," ucap Sela merasa bersalah.

Anza melepaskan pelukan Sela dan kemudian menghapus air matanya dengan menggunakan ujung jilbab yang Anza kenakan. "Mbak nggak perlu minta maaf. Mungkin ini udah takdir Anza harus pergi dari kehidupan kalian. Anza udah nggak pantas lagi berada di sini lagi."

"Nza kamu nggak boleh bicara seperti itu," ucap Sela. Ia memegang kedua Pundak Anza begitu kuat. Anza mendapatkan perlakuan itu hanya diam. Sudah terlanjur. Keputusan yang telah Anza ambil tidak bisa diganggu gugat.

"Maafkan Anza, Mbak."

"Terus kamu mau kemana?"

Anza menggeleng. "Anza juga nggak tahu."

"Ini punya kamu," ucap Sela sambil memberikan tas Anza. Anza heran kenapa Sela bisa membawah tasnya. "Mbak tahu kamu nggak akan balik lagi ke rumah Uti. Dan Mbak juga tahu kamu nggak bawah apa-apa. Ini semua karena salah, Mbak."

"Mbak nggak salah, yang salah itu aku. Seharusnya dari dulu aku pergi dari sini."

"Maafkan, Mbak." Sela memeluk Anza kembali. Anza dan Sela menangis di pemakaman Kakek dan Nenek mereka.

"Mbak." Anza melepaskan pelukannya. "Apa Mbak tahu tentang aku yang bukan anak Abah?" tanya Anza. Anza harus menanyakan hal ini sebelum Anza pergi untuk selama-lamanya.

"Sebenarnya yang nemuin kamu itu Uti. Kamu ditemuin di rumah sakit waktu ibu kamu ngelahirin kamu. Uti membantu proses kelahiran kamu saat itu. Dan ibu kamu meninggal ketika ngelahirin kamu. Waktu itu juga ibu kamu menitipkan kamu kepada Uti sampai keluarga kamu menjemput kamu. Tapi, beberapa hari kemudian Uti harus pindah ke Solo karena nggak mau pisah sama kamu dan paman Abdullah lah yang merawat kamu. Seb-"

"Jadi mereka yang pisahin Anza dengan keluarga Anza?" tanya Anza langsung memotong ucapan Sela.

"Anza ini nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Anza benci kalian semua." Anza langsung pergi meninggalkan Sela. Anza tidak peduli dengan Sela yang terus memanggilnys.

Anza kecewa dengan semua ini.

Marah?

Itu yang Anza rasakan saat ini.

Ternyata Anza salah menilai mereka semua.

Anza pikir mereka adalah orang yang paling baik.

Tapi, nyatanya mereka lah yang memisahkan Anza dengan keluarganya.

Seharusnya Anza tidak hadir dalam hidup mereka.

***

Ponsel Anza terus berdering saat Anza tiba di Bandara. Anza benar-benar tidak ingin diganggu saat ini. Ia begitu benci dengan semua orang yang telah membuatnya kecewa. Ternyata merekalah penyebab Anza kehilangan keluarganya. Seandainya ibunya tidak bertemu dengan nenek Anza waktu itu, mungkin Anza telah hidup Bahagia bersama dengan keluarganya. Pasti keluarganya sangat menyayanginya.

Saat ini dipikiran Anza hanya ada satu nama yaitu Bila sahabatnya. Namanya tertera dilayar ponsel saat Anza ingin memode non-aktifkan ponselnya. Karena Anza takut ditegur oleh petugas. Oleh karena itu Anza hanya punya dua puluh menit untuk berbicara dengan Bila.

"Assalamualaikum, Anza. Kamu kemana aja sih? Dari kemarin aku hubungi kamu nggak ada kabar sama sekali. Kamu udah sampai di Bandung dengan selamat kan? Kamu baik-baik saja kan?" celoteh Bila tanpa bernapas sedikitpun.

Memang benar sejak kemarin Anza belum menghubungi Bila. ia bahkan belum menyentuh ponselnya. Anza hanya tertawa. Begitu pandainya ia berbohong kepada Bila. untung saja Bila tidak pernah mengetahuinya.

"Loh, kok kamu malah ketawa?"

Dan untungnya juga bila tidak menghubunginya melalui video call. Bisa ketahuan jika ia telah membohongi Bila. "Habisnya kamu gemesin banget deh, Bil."

"Apaan sih!"

"Pasti kamu lagi kangen ya sama Anza yang paling cantik se Indonesia," ucap Bila tertawa. Entah kenapa, kalau menyangkut soal Bila Anza selalu lupa dengan masalah yang sering terjadi kepadanya.

"Cantik dari hongkong heh..."

"Nggak mau ngaku segala."

"Kamu beneran udah di Bandung?" tanya Bila begitu penasaran. Ia benar-benar begitu mengkhawatirkan sahabatnya itu.

"Udah kok."

"Tapi, kok aku malah dengar suara-suara kaya lagi di Bandara gitu."

"Oh itu." Anza harus mencari cara untuk membohongi Bila. "Itu... aku... oh iya aku lagi di Bandara mau jemput Mbak Sela sepupu aku dari Sulawesi," ucap Anza gugup. Anza harus berbohong karena tidak ingin Bila mengkhawatirkannya.

"Oh gitu yah. Oh ya Nza aku semalam berangkat ke Lombok."

"Kamu ngapain di sana?" tanya Anza penasaran.

"Kakek aku sakit. Jadi, aku dan keluarga aku harus ke Lombok."

"Aku turut prihatin. Semoga kakek kamu cepat sembuh."

"Aamiin. Makasih ya, Nza."

"Hmm..."

"Nza kamu nggak apa-apa di Bandung dulu. Soalnya aku pulangnya agak lama gitu. Mungkin sehari sebelum ospek di mulai."

"Iya, nggak apa-apa kok. Lagian aku bakalan balik ke Jakarta kalau kamu udah balik juga," ucap Anza berbohong. Jika seandainya Bila tidak pergi ke Lombok, mungkin sampai di Jakarta ia akan menceritakan semuanya ke pada Bila.

***

Menuju Jalan-MuWhere stories live. Discover now