RESAH.

5.6K 387 17
                                    

Bu,
Rindu resah.
Rindu mencintai si pemahat luka,
Sementara ada pria yang rela memberikan hidupnya untuk Rindu.

Rindu resah, Bu.
Rindu takut salah langkah.
Rindu takut salah pilih.
Apa lebih baik,
Dunia tak perlu dulu tau kepada siapa hati ini Rindu serahkan?

Bu,
Saat ini Rindu hanya berani bicara lewat surat.
Itupun, Rindu simpan kembali surat-surat ini.
Sebab, Rindu belum punya keberanian untuk menceritakan semuanya.

Jikalau nanti ibu temukan tumpukkan surat ini,
Semoga Ibu dapat mengerti posisi Rindu.

***

Kuliah, kerja, nyata.
Berakhir sudah kegiatan panjang,melelahkan, menguras emosi dan tenaga.
Saatnya kami kembali ke Jogjakarta, tepatnya kampus sebagai titik kumpul.

Sepanjang perjalanan, dalam bis aku sibuk memperhatikan jalan, rumah-rumah yang aku lewati, kadang terbesit di imaji " bagaimana mereka dapat melalui hari? Kira kira, apa yang tersaji dimeja makan mereka hari ini?" kemudian aku tersadar lagi, dan kembali menyandarkan kepalaku pada kaca jendela.

Aku ingin cepat tiba.
Ingin cepat bertemu Aristio.
Entahlah,
Luka itu sungguh aku rasa masih basah.
Tapi rasa cintaku tak kalah hebat.
Lebih hebat lagi kebodohanku.

Waktu menunjukkan pukul 18:44.
Kami bergegas turun dari bis, membawa barang bawaan masing-masing,dan menunggu jemputan.

Terlihat pria bertubuh tinggi gagah, berambut sedikit basah, bermata lentik dan berbibir pink itu sudah menungguku dengan motor matic nya.

Ia tersenyum dari kejauhan,
Ia bahagia aku pulang.

Aku sedikit murung sebab bukan ia yang ku harapkan datang.

Matanya  bak berkata " aku sudah disini menunggumu sejak berjam-jam lalu"
Aku berjalan menujunya.
Ia memelukku spontan,
Tak perduli bau keringat, wajah berminyak lusuh tak ada indah-indahnya.

Dengan tulus mampu ku rasa sahabatku ini memberikan peluk terbaiknya dan kecupan paling tulus dimuka bumi.

" kangeeeen... Kkn disurabaya kelamaaannn.. Hampir aja aku susul kamu ke desa kemarin".

"iih gila kamu. Malu lah aku.."

" biarin.. Sejak kapan kamu tau malu. Pulang yuk, nyoto"

" aku mandi dulu tapi, ok?"

" hmm iya yaudah kita pulang dulu."

Banyak yang kami bicarakan diatas motor menuju perjalanan pulang.
Tak rela si pria bertangan besar ini menggenggam tanganku yang kering akibat aktifitas lapangan yang terlampau sering.
Ia begitu merindu.
Aku merasakan itu.

Sesekali ia menciumi tanganku dan memaksaku untuk memeluk perutnya yang amat menonjol otot otonya itu.

" ih geliii"

" namanya Sixpack"

" gasukak"

"yaudah aku berhenti ngegym.. Aku menggendut aja biar kamu suka"

" apaan siiih"

Salah satu percakapan yang berakhir tawa.
Semakin riang tawanya,
Semakin erat genggamannya,
Semakin lama kecupan nya,

Semakin besar rasa bersalahku terhadapnya.

  ***

Malam ini,
Malam di tanah Jogjakarta,
Angin dan langit malam ini jadi saksi aku berubah jadi pendusta bagi sang pemberi tulus.

Malam ini,
Alam jadi saksi.
Aku jadi manusia paling tak tahu diri.
Aku jadi pendusta,
Demi seorang pendusta.

" hoi!"

" hmm!! Kaget ih!"

" kenapa sih melamun aja. Tuh sotonya udah dingin nanti kamu gamau makan lagi.."

" oh iya, maaf aku lupa."

" mikirin apa sih.. Kamu ada masalah?"

" engga, aku cuman kepikiran sama laporan KKN-ku aja.. Belum rampung ku kerjakan"

" kamu itu baru aja sampe.. Nanti dulu ngegarap itu.. Nanti kita fikirkan, bisa kok"

" iya.. Bisa pasti bisa"

Rasa bersalahku semakin tak karu-karuan melihat pria ini dengan lahapnya menghabiskan semangkuk soto favoritnya.

Ditambah saat ia memberikan sate ati untukku, " kesukaan kamu", katanya.

Penjahat macam apa aku ini.

Segera kuhabiskan soto di mangkuk yang mulai kehilangan hangatnya,
Dan segera meminta pulang.

Bobby bingung dan tak banyak bicara di sepanjang perjalanan.

Tapi ia tak berhenti menggenggam tanganku.
Aku tau,
Ia merasakan perubahan dalam diriku.
Dan ia pun bimbang juga resah terhadap itu.

Maaf, Bobby.
Akupun tak tahu harus bagaimana.

Luruh [ FINISH] Where stories live. Discover now