14. Kecewa

19 2 7
                                    

Di sebuah ruangan yang kecil. Seorang gadis tergeletak lemah di atas ranjang. Dikelilingi oleh beberapa remaja yang kini sedang menunggu kesadarannya. Tak berselang lama, matanya secara perlahan terbuka. Hal itu sontak membuat teman-temannya bergerumbul dan memastikan keadaannya.

"Adel!"

"Lo gak papa, 'kan?"

"Syukur, lo udah sadar."

Suara-suara itu menyambut kesadaran Adel. Diam dan bingung, ekspresi itu yang ditunjukkan oleh gadis itu.

"Kok gue di sini?" ujarnya sembari berusaha untuk bangkit dan mengubah posisinya yang tadinya berbaring kini duduk.

"Lo masih perlu istirahat. Jangan banyak gerak." Suara berat itu terlihat khawatir akan keadaannya.

Adel mendongak ke arah suara tersebut. Sosok cowok yang kini sedang memegang secangkir teh hangat.

"Minum!" perintahnya Tangan itu menyerahkan secangkir teh ke arah Adel.

"Terima kasih." Ucapan itu disertai senyuman tipis. Sangat tipis bahkan, ketika dia sadar bahwa kini tidak ada satu sahabat nya yang berada di ruangan tersebut.

"Gue dan Devan pergi dulu. Cepat sembuh!" ucap Dika yang hanya di balas anggukan oleh gadis itu.

"Cepet sembuh," ucap Dimas seraya menatap manik Adel secara mendalam dengan tatapan yang sulit diartikan.

Adel tenggelam dalam tatapan tersebut.
"Eh, iya," balasnya sembari melempar senyum. Entah kenapa dia bisa melempar senyum begitu reflek terhadap seorang cowok yang tak begitu dia kenal.

"Masih pusing?" tanya Erlin memecahkan pandangan Adel yang menatap Dimas.

"Udah enggak."

"Istirahat dulu aja, Del," ujar Dara sembari meninggalkan ruangan ketika dirasa keadaan temannya itu membaik.

"Lo tadi ditolongin sama Devan. Dia yang gendong lo kesini," sahut Vika tiba-tiba.

"Iya. Ntar gue bilang makasih." Pikiran Adel melayang tanpa arah. Devan yang tetap peduli dengannya, sahabat-sahabatnya yang kembali tak acuh dengannya dan tatapan Dimas yang tidak bisa diartikan.

"Lin, lo kagak balik ke depan?"

"Lo duluan aja."

Vika meninggalkan ruangan tersebut. Tersisa Erlin dan Adel. Adel terlihat merogoh saku celana yang kini dia pakai. Mencari sesuatu, tetapi tak menemukannya. Erlin yang menyadari akan hal itu memberikan sesuatu ke arah Adel.

"Nyari ini?"

Mata gadis itu sontak membulat. Dia menerima apa yang diserahkan Erlin kepadanya.

"Kok ini...?" Gadis itu benar-benar tak menyangka jika botol obatnya ada di tangan Erlin.

"Jatuh waktu lo pingsan," ujar Erlin begitu datar.

"Gak perlu tanya sahabat lo. Mereka gak ada di sini," lanjutnya sembari menatap manik mata Adel yang terlihat kebingungan.

"Terus? Dan kenapa gue bisa...." Menggantungkan ucapan, itulah yang kini Adel lakukan. Dia tidak mengerti tentang semua ini. Bagaikan teka-teki yang rumit.

"Lo pingsan. Devan nolong lo dan bawa lo ke UKS. Sebelum Devan gendong lo ke sini, sahabat-sahabat lo ikut membantu para OSIS untuk menyadarkan lo."

Penjelasan Erlin membuat dia sadar. Sahabatnya masih terlihat tidak suka dengan hubungan Adel dan Devan.

"Gak perlu di pikirin." Erlin menepuk bahu Adel pelan isyarat menguatkan dan menenangkan temannya yang berhasil membuka hatinya itu.

"Dimas?"

FAKEWhere stories live. Discover now