"Sibuk? Aku tahu habis ini seorang Yeri pasti akan pulang kerumah. Aku kenal dirimu..." ucap Jungkook membuat Yeri mengenduskan nafas beratnya lagi lagi, dan terus menerus bernada tidak suka didalamnya.

"Ya benar. Jadi kau mau apa?"
"Asal kau tahu. Aku lebih memilih berbicara dengan tembok kamarku daripada dirimu, Jeon Jungkook!" Bentaknya menghentak tangan lelaki itu kasar. Melangkah tanpa merasa bersalah.

"Tu-tunggu..." tahan lelaki itu berniat mengejar.

Namun langkah Yeri yang mengencang-pun harus memelan saat ia mendengar seseorang memanggil. Bukan dirinya, tetapi lelaki yang kini juga ikut berhenti.

"Jeon Jungkook," ujar seorang gadis menyodorkan sebuah benda yang terbungkus dengan rapi.
"Aku ingin mengembalikan ini padamu,"

Mengembalikan benda yang bahkan belum tersentuh sedikitpun pada bungkusannya. Jungkook-pun menatap bergantian benda itu dan wanita dihadapannya dengan penuh tanya.
"Jieun-ah?"

Tepat saat mendengar nama Lee Jieun disebut, Kim Yerim kembali memanas. Dengan langkah penuh penekanan ia melangkah pulang.
"Aishhh!"

Ia marah, marah dan marah. Tak ada kata yang tepat yang bisa menggambarkan betapa marahnya dan sakit hatinya seorang Yerim.

Tetapi apa ini? Ia tidak bisa melampiaskan rasa yang dialami kepada orang yang lain. Sebab yang bersalah hanya dirinya. Yang ia tahu hanya ia yang bersalah. Ia terlalu membiarkan dirinya terlalu jatuh dalam rasa cinta, yang seharusnya ia hilangkan sejak lama.

Ia terlalu salah karena terlalu banyak berharap setelah mendapatkan sebuah harapan kecil.

Ciuman dari Jeon Jungkook menjadi sebuah kunci yang membuat pintu hatinya semakin besar hingga ia juga merelakan kakinya membuka dengan sendirinya, mengangkang didepan seorang lelaki.



*****


"Appa!" Panggil Yeri.

Wajah gadis itu tak lagi tersenyum, melainkan datar tanpa ekspresi. Berbicara layaknya boneka yang tak lagi dengan senyum. Dadanya naik turun dengan cepat. Sikap seorang yang sedang tergesa-gesa.

"Eum." Sang Ayah melipat bacaannya dan menghadapkan badannya ke sang anak. Dan mulai serius...

Yeri POV*

"Appa pernah bilang kalau aku mengambil keputusan yang salah masuk jurusan itu kan?" Ucapku menatap kedua mata appa yang juga menatapku anaknya ini dengan serius.

Kepala keluarga Kim itu memang selalu serius menatap seseorang, jikalau orang lain mungkin menganggapnya terlalu mengintimidasi lewat tatapan. Dan pada akhirnya menganggapnya orang yang terlalu keras. Tetapi lelaki dihadapanku yang kupanggil ayah itu hanya suka membaca kharakter dari ekpresi orang lain.

"Bukannya kau suka? Kau bilang itu keputusanmu?" Ucapnya menanggapi dan selalu dengan ekpresi datarnya. Hal ini juga mungkin menurun padaku dan kakakku, Kim Taehyung.

"Jika aku katakan, aku menyesal. Apa yang akan ayah katakan?"

"Yeri, kau sudah dewasa. Jangan berharap pendapat orang lain,"

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memperbaikinya,"

"Bagaimana caramu memperbaikinya?"

Unblock Me - jjk X kyrWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu